“Risalah Nur adalah argumen yang luar biasa dan tafsir yang sangat berharga terhadap Al-Qur’an al-Karim. Ia juga merupakan sebuah kilatan yang memukau dari kemukjizatan maknawi Al-Qur’an, setetes dari samudera Al-Qur’an, secercah cahaya dari surya Al-Qur’an, sebuah hakikat yang terilhami dari khazanah ilmu hakikat. Risalah Nur juga merupakan terjemahan maknawi yang bersumber dari limpahan makna Al-Qur’an. “

“Risalah Nur bukanlah tariqat kesufian, melainkan sebuah hakikat. Dia adalah cahaya Al-Qur’an al-Karim. Ia tidak bersumber dari ilmu-ilmu dari Timur dan pengetahuan dari Barat. Tapi sesungguhnya ia adalah mukjizat maknawi dari Al-Qur’an al-Karim yang dikhususkan untuk zaman ini.”

Dapat disimpulkan dari paparan tadi bahwa Risalah Nur adalah penafsiran terhadap makna-makna Al-Qur’an yang membahas masalah-masalah mendasar dalam kehidupan individual. Risalah Nur dapat membangun keyakinan-keyakinan keimanan dengan menepis pemahaman-pemahaman keliru dan sikap-sikap yang lemah. Risalah Nur membahas seputar makna-makna “tauhid” dengan berbagai argumen, “hakikat akhirat”, “kebenaran kenabian” dan “keadilan syariah” dan makna-makna lain yang menjadi tema utama Al-Qur’an, disamping membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan dakwah, kecintaan kepada Rasul, kerinduan pada akhirat dan berbagai problem sosial dan politik.

Oleh karena itu, Nursi berkata berkenaan dengan Risalah Nur,
“Risalah Nur telah memecahkan dan menjelaskan serta menyingkap lebih dari seratus rahasia keagamaan, syariah dan Al-Qur’an, dan telah membungkam orang-orang ateis serta membuktikan dengan terang seterang matahari hakikat-hakikat Al-Qur’an yang dianggap jauh dari sentuhan akal seperti peristiwa Isra’ dan Mi’raj dan kebangkitan jasmani. Ia telah membuktikan kepada para filosof dan ateis paling pembangkang sekalipun hingga sebagian diantara mereka meyakini Islam. Oleh karenanya, risalah seperti ini mestilah memiliki hubungan dengan dunia dan sekitarnya. Sudah tentu ia adalah hakikat Al-Qur’an yang akan menyibukkan masa sekarang dan akan datang serta mengambil sebagian besar perhatiannya. Ia adalah pedang berlian yang sangat tajam dalam genggaman orang-orang beriman.”

Terilhami Metode Al-Qur’an
Untuk menjelaskan perbedaan antara gaya Risalah Nur dengan karya-karya lain dalam menjelaskan hal makrifatullah dan iman tahqiqi (teruji), kami kutip pernyataan Nursi sebagai berikut,
“Makrifatullah yang digali dari argumen-argumen ilmu kalam sejatinya bukanlah makrifat yang sempurna. Ia tidak memberikan ketentraman hati. Sementara makrifat jika digali dari metode Al-Qur’an yang penuh keajaiban, maka ia akan menjadi makrifat yang sempurna, ia akan mencurahkan ketentraman utuh dalam jiwa. Insya Allah setiap bagian dari Risalah Nur berfungsi seperti lentera di jalan Al-Qur’an yang sarat dengan cahaya. Sebagaimana halnya, makrifat yang lahir dari ilmu kalam nampak kurang dan terbatas, maka makrifat yang lahir lewat jalan tasawwuf juga kurang dan terbatas jika dibandingkan dengan makrifat yang bersumber langsung dari Al-Qur’an dengan rahasia pewarisan kenabian.

Adapun metode Al-Qur’an al-Hakim adalah ia akan mendapatkan air dan memancarkannya dimana saja dengan sangat mudah, sebab setiap ayat dari Al-Qur’an dapat memancarkan air dimanapun ia dipukulkan -laksana tongkat Nabi Musa a.s- dan mengajak kita membaca:

وفيكلشيءلهأيةتدلعليأنهواحد
‘Dalam setiap sesuatu terdapat tanda yang membuktikan bahwa dia adalah Esa.’
Kemudian, keimanan itu tidak didapatkan lewat ilmu saja, sebab manusia memiliki lathaif (indra lahir maupun batin) yang semuanya memiliki bagian dalam keimanan. Sebagaimana halnya makanan ketika memasuki lambung akan segera terbagi dan tersalur ke berbagai urat sesuai kebutuhan setiap anggota badan. Demikian pula ketika masalah-masalah keimanan yang diperoleh lewat ilmu memasuki lambung ‘akal dan pemahaman’, maka setiap lathifah seperti: ruh, hati, sirr, jiwa dan semisalnya juga turut mengambil bagiannya dan segera menyerapnya sesuai tingkat kebutuhannya. Olehnya, jika sebuah lathifah kekurangan dan kehabisan asupan gizi, maka makrifat itu kurang dan tidak sempurna. Dan senantiasa lathifah tersebut akan terus merasakan kekurangan.”