PRINSIP-PRINSIP POLITIK ISLAM MENURUT SAID NURSI
Oleh:
Hasbi sen
Bab 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pembaharuan yang muncul pada dunia Islam berpengaruh terhadap umat Islam termasuk Turki Usmani dan mendorong perkembangan pembaharuan di bidang politik, ekonomi dan kemasyarakatan. Dalam bidang politik, angin pembaharuan berpengaruh terhadap sultan-sultan dan tokoh-tokoh Turki Usmani. Pertama kalinya, Sultan Mahmud II telah berusaha membatasi kekuasaan absolut dalam pemerintah. Selanjutnya, pembaharuan dilanjutkan oleh kelompok Tanzimat dimana mereka telah berusaha untuk menyusun undang-undang politik.Tokoh-tokoh terkenalnya adalah Mustafa Rasyid Pasya, Mehmed Sadik Rifat Pasya.
Selanjutnya, pada tahun 1865 muncul Gerakan Usmani Muda yang pada asalnya merupakan perkumpulan rahasia untuk merubah pemerintah absolut Turki Usmani menjadi pemerintah konstitusional. Para tokohnya adalah Ziya Pasya (1825-1880), Namik Kemal (1840-1888) dan Midhat Pasya (1822-1883). Mereka menganggap bahwa pemerintahan absolut bertentangan dengan syariah. Sistem bai’ah yang terdapat dalam pemerintahan khilafah pada hakikatnya merupakan kadaulatan rakyat dan musyawarah merupakan salah satu dasar politik Islam. Menurut mereka, ide-ide Barat tidak menerima begitu saja, tetapi mereka mencoba menyesuaikan dengan ajaran Islam (Nasution 1975, hlm. 15-112).
Selain Usmani Muda, muncul satu gerakan lagi yaitu Turki Muda. Di kalangan militer menjelma dalam bentuk komite-komite rahasia. Oposisi yang berbagai kelompok inilah yang kemudian dikenal dengan nama Turki Muda. Ide perjuangan Turki Muda, antara lain dimajukan oleh tiga pemimpin Ahmed Riza (1859-1931), Mehmed Murad (1853-1912) dan Pangeran Sabahuddin (1877-1948).
Sejalan dengan Usmani Muda, pada periode akhir Turki Usmani muncul seorang tokoh bernama Bediuzzaman Said Nursi. Ia dilahirkan pada tahun 1876 di Turki Timur. Dalam dunia pendidikan, untuk pertama kali Said Nursi belajar di Kuttab (madrasah) pimpinan Molla Mehmet Emin di desa Thag pada tahun 1885. Disamping itu, ia menerima pendidikan dasar dari para ulama terkenal di daerahnya. Pada tahun 1891, ia bersama seorang temannya berangkat menuju madrasah di Bayezid, satu daerah di Turki Timur. Disinilah Said Nursi mempelajari ilmu-ilmu agama dasar, karena sebelum ia hanya belajar Nahwu dan Sharaf saja. Ia belajar dengan segala kesungguhan dan secara intensif untuk jangka waktu tiga bulan lamanya. Selama itu, ia berhasil membaca seluruh buku yang pada umumnya dipelajari di sekolah-sekolah agama. Dalam waktu relatif singkat sekali ia mampu menguasai matematika, ilmu falak, kimia, fisika, geologi, filsafat, sejarah, geografi, dan lain-lain (Salih 2003 hlm. 8-15).
Ketika Konstitusi kedua diundangkan* dalam sistem pemerintahan Turki Utsmani (23 Juli 1908), dia pertama kali terlibat dalam dunia politik dan menjadi pendukung pemerintahan konstitusional. Perhatian ia lebih difokuskan pada kegiatan orasi dan menulis makalah-makalah sebagai media untuk menjelaskan makna kebebasan dalam Islam dan pengaruh Islam dalam kehidupan politik, juga tuntunan agar Syari’at Islam diterapkan dan aktif memberi peringatan jangan sampai menyalahgunakan makna kebebesan ( Salih 2003, hlm. 20).
Pada tahun 1910, ia pulang ke Turki Timur dan berkeliling berbagai kota dan kawasan pedesaan termasuk kabilah-kabilah dalam rangka mensosialisasikan pemerintahan konstitusional dan makna kebebasan menurut Islam kepada masyarakat. Dialog antara Said Nursi dan masyarakat dikumpulkan di dalam satu risalah berjudul Munazarat (Debat-debat) dan diterbitkan pada tahun 1913. Selain karya tersebut, dia menerbitkan beberapa karyanya berjudul Divan-i Harbi Orfi ve Said Nursi, Sunuhat, Isharat, Tuluat yang mengenai berbagai persoalan tentang politik, kemasyarakatan, peradaban dan lain-lain.
Nursi pergi ke Damaskus untuk menyampaikan khutbah di Masjid Umayyah Pada tahun 1911tentang kondisi umat Muslim dan cara mengatasi masalah-masalahnya. Khutbah ini, beberapa tahun kemudian diterbitkan dengan berjudul Hutbe-i Samiye ( Vahide 2003, hlm. XVIII-XIX).
Dari karya-karya tersebut dapat disimpulkan bahwa, Nursi tidak sepakat dengan pemerintahan absolut. Oleh karena itu, dia mendukung pemerintahan konstitusional dan kebebasan yang sesuai dengan Islam. Menurutnya, tugas para pejabat adalah melayani masyarakat, bukan untuk tirani. Ia menerima nasionalisme Islam yang meliputi semua umat Islam. Nampaknya, pemikiran nasionalisme Nursi senada dengan pemikiran pan-Islamisme Jamaluddin al-Afghani. Pernyataan ini, diungkapkan oleh Nursi bahwa ia sepakat dengan pemikiran al-Afghani tentang pan-islamisme. Di samping itu, menurutnya, sebab kelatarbelakangan umat Islam adalah kebodohan, kemiskinan dan persilisihan. Untuk mengatasi problem tersebut ada tiga cara, yaitu mengingkatkan pendidikan, kerja keras dan kemajuan, dan persatuan umat Islam.
Sebenarnya, Nursi membagi kehidupannya dua periode, yaitu Said Qadim dan Said Jadid. Pada periode Said Qadim, ia aktif di dunia politik. Walaupun ia mempunyai berbagai tulisan dan tanggapan tentang politik, dia melepaskan diri dari dunia politik pada periode Said Jadid. Sejak itu ia terfokus dalam aktifitas Inqadz al-Iman (menyelamatkan keimanan). Pada tahun 1925, ada satu pemberontakan terjadi di Turki Timur di bawah pimpinan seorang pemimpin Thariqah Naqsyabandiah kepada pemerintahan Turki sebagai Barlawanaan terhadap politiknya yang memusuhi Islam. Walaupun ia tidak terlibat dalam pemberontakan tersebut, ia diasingkan ke Burdur, Turki Barat. Sejak itu, kehidupan Nursi lewat di penjara atau pengasingan selama 24 tahun. Selama periode ini, dia mengarang master piece-nya yaitu Risale-i Nur (Salih 2003 hlm. 46-91).
Menyimak garis besar uraian mengenai kehidupan Said Nursi dalam kaitannya setting sosial-politik di Turki dan ide-idenya tentang seputar musyawarah, kebebasan, konstitusionalisme, dan peran umat Islam di dalam pergaulan sosial yang diuraikan di atas, maka permasalahan yang penting diteliti lebih lanjut adalah bagaimana pemikiran politik Bediuzzaman Said Nursi, baik pada periode Said Qadim, maupun Said Jadid. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan mengambil judul “PRINSIP-PRINSIP POLITIK ISLAM MENURUT BEDIUZZAMAN SAID NURSI”
Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, masalah pokok penelitian ini adalah prinsip-prinsip politik Islam dalam pandangan Bediuzzaman Said Nursi? Untuk memudahkan pembahasan masalah dirumuskan sebagai berikut:
- Bagaimana setting sosial-politik yang berpengaruh kepada Said Nursi pada periode akhir Turki Usmani?
- Apa prinsip-prinsip politik Said Nursi?
Tujuan dan Kegunaan Penilitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini mempunyai berapa tujuan sebagai berikut:
Pertama, menjelaskan setting sosial-politik yang berpengaruh terhadap Said Nursi. Selain latar belakang pendidikan, kondisi Nursi berpengaruh dan membentuk pribadinya. Kedua, memformulasikan prinsip-prinsip Said Nursi tentang politik.
Penulis mengharapkan penelitian ini berguna sebagai kontribusi menambah referensi dalam kajian pemikiran politik Islam modern, sebagai referensi untuk Jamaah Nur di Turki dan sebagai bahan perbandingan bagi para peneliti pemikiran politik Islam.
Tinjauan Pustaka
Banyak penulis telah mengkaji tentang pemikiran Said Nursi dari berbagai sudut. Mengenai pemikiran politiknya, terdapat beberapa penulis telah mengkaji dalam bentuk disertasi, buku dan artikel-artikel.
Penelitian yang dilakukan oleh M. Hakan Yavuz, dalam disertasinnya berjudul Islamic Political Identity in Turkey ( Identitas Politik Islam di Turki ) pada Universitas Oxford di Amerika Serikat memberikan uraian tentang Said Nursi. Yavuz mengemukakan ide-ide Said Nursi dan penagaruhnya dalam perkembangan politik di Turki. Menurutnya, Gerakan Nur menjadi komunitas sosio-politik yang paling efektif dan kuat pada Turki kontomporer. Dalam konteks ini, karya-karya Said Nursi menjadi dasar untuk “gerakan iman” ini. Karya Nursi menandai wacana ilmiah politik Islam, memberikan ide-ide orisinal untuk menghadapi problem politik dan sosio-kultural. Dengan meneliti gerakan ini, bias dipahami dinamika agama dan negara di satu sisi, modernitas dan idenditas di sisi lain. Dinamika gerakan ini sebagai gerakan sosial berakar pada jaringan media, pendidikan, bisnis dan publishing mereka.
Safa Mursel menulis buku dengan judul Bediuzzaman ve Devlet Felsefesi (Bediuzzaman Said Nursi dan Filsafat Negara) dalam Bahasa Turki. Buku tersebut mengemukakan pemikiran Nursi tentang kehidupan sosial, peradababan, sistem pemerintahan, nasionalisme, kebebasan, hukum dan lain-lain. Dia berpendapat bahwa Nursi merupakan seorang ulama yang mengungkapkan ide-idenya untuk menetapkan dasar-dasar Republik Turki dan berusaha menghalangi keruntuhan Turki Usmani. Menurutnya, pemikiran politik Nursi mencakup wacana politik kenegeraan. Contohnya, Nursi adalah seorang yang mendukung sistem “republik religius”, ketika system monarki masih eksis pada Turki Usmani. Hal ini merupakan hal yang baru ketika banyak tokoh masih setuju dengan sistem kesultanan.
Ada banyak makalah yang disajikan pada simposium internasional tentang pemikiran Said Nursi yang dilaksanakan di Istanbul, Turki. Sebagian makalah membahas pemikiran politik Said Nursi. Antara lain, Prof. Dr Ahmet Davudoglu menulis makalah berjudul Bediuzzaman and The Politics The 20th Century Islamic World (Bediuzzaman dan politik Dunia Islam pada abad ke-20). Ia mengungkapkan bahwa ada hubungan erat periodesasi kehidupan Nursi dengan perkembangan pada dunia Islam. Periode pertama, adalah dari awal abad ke-20 sampai dengan runtuhnya kekhalifahan pada tahun 1924. Menurutnya, peiode ini bertetapan dengan periode Said Qadim pada kehidupan Nursi. Periode ini, Nursi telah aktif mencari solusi untuk problem-problem sosial. Ia juga mencurahkan perhatiannya maslah-masalah yang terkait dengan dunia Islam, khususnya Turki Usmani.
Periode kedua adalah dari runtuhnya kekhalifahan sampai dengan Perang Dunia II. Pada periode ini, dunia Islam kehilangan resistensi terhadap dunia emperyalis dan banyak perubahan-perubahan penting dalam kehidupan sosial pada dunia Islam. Dalam kondisi ini, Nursi berusaha memperbaharui iman individu untuk membentuk komunitas Islami. Pada periode ketiga, negara-negara muslim terselamat dari penjajahan dan mnedirikan negara tersendiri. Walaupun Nursi melepaskan diri dari dunia politik, dia menyuarakan pendapatnya seputar maslah-masalah politik.
Selain itu, Dr. Huseyin Celik menulis makalah berjudul Republicanism and Democracy according to Bediuzzaman (Sistem Republik dan Demokrasi menurut Bediuzzaman). Di dalam makalahnya, Celik mengemukakan sistem Republik dan demokrasi dari sudut pandang Nursi. Dia menyimpulkan bahwa Nursi adalah seorang ulama yang memiliki cita-cita bahwa perlu menerapkan konstitusionalisme ketika sistem kesultanan berlaku pada Turki Usmani. Nursi juga berbicara tentang sistem republik secara eksplisit dalam periode konstitusional. Ia menekankan bahwa sistem pemerintahan harus mengandung prinsip-prinsip demokrasi baik pada periode konstitusional maupun periode pemerintahan Rebuplik Turki.
Prof. Dr. Mim Kemal Oke menulis makalah berjudul The Key of the ideal of Republicanism in the Light of Bediuzzaman’s Social and Political Views. Di dalam makalahnya, Oke menjelaskan pemikiran Nursi tentang sistem Republik dan pemerintahan konstitusional. Dia mengungkapkan bahwa berpendapat konsep konstitusionalisme ada pada Islam. Dengan pandangan ini, ia menggambarkan sebuah sistem politik yang bersupremasi hukum, adil dan bebas. Sistem tersebut yang ia anggap masa khularaurrasyidin sebagai contoh merupakan inti sistem republik yang ideal.
Meskipun telah memberikan kontribusi penting terhadap kajian tentang pemikiran politik Said Nursi, buku dan makalah di atas belum membahas prinsip-prinsip politik Said Nursi secara utuh. Contohnya, Huseyin Celik membahas sistem republik dan demokrasi menurut Said Nursi. Ia hanya meneliti pemikiran politik Nursi dari segi sistem pemerintahan, aspek politik lain tidak dibahas. Oleh karena itu, penulis mencoba menulis sebuah penelitian yang melingkupi prinsip-prinsip politik Nursi seperti tauhid, musyawarah, kebebasan, persamaan, keadilan.
Definisi Operasional
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991, hlm. 355) prinsip adalah asas (kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, berindak, dsb), dasar. Menurut Jamer Hasting yang dikutip oleh Pulungan (1996, hlm. 14) secara filosofis kata itu mengandung arti kebenaran-kebenaran yang fundamental dari suatu kandungan doktrin atau dasar apa saja yang berkaitan dengan tingkah laku manusia. Pengulangan istilah prinsip-prinsip dalam judul mengandung arti ada beberapa dasar, asas kebenaran-kebenaran yang fundemental, tuntunan peraturan moral yang dikandung oleh suatu ajaran yang dijadikan dasar berpikir, bertindak, dan bertingkah laku oleh manusia. Pengertian inilah yang dimaksud untuk kepentingan penelitian ini.
Menurut Salim (1994, hlm. 37) politik adalah “perilaku manusia, baik berupa aktivitas maupun sikap yang brtujuan mempengaruhi dan mempertahankan tatanan sebuah masyarakat dengan menggunakan kekuasaan. Senada dengan pengertian tersebut, Rais (1991, hlm. 27) mengdeskripsikan politik sebagai hal yang menyangkut kekuasaan dan juga berhubungan dengan cara dan proses pengelolahan pemerintahan suatu negara dengan segala perangkat kekuasaannya untuk mengatur kehidupan masyarakat.
Kerangka Teori
Menurut Pulungan (1996, hlm. 125-260) terdapat prinsip-prinsip politik dalam Piagam Madinah yang dibuat oleh Nabi Muhammad SAW. yaitu, persatuan dan persaudaraan, persamaan, kebebasan, musyawarah, keadilan, pelaksaan hukum dan lain-lain. Contohnya, dengan prinsip persamaan, umat mempunyai status yang sama dalam kehidupan sosial (pasal 25-35); persamaan tanggung jawab dalam mempertahankan keamanan kota Madinah (pasal 44); persamaan hak dalam memberikan saran dan nasihat untuk kebaikan (pasal 37). Hak-hak ini adalah hak-hak manusia yang paling dasar yang tidak boleh dilanggar oleh siapa pun. Prinsip kebebasan yang terdapat dalam Piagam Madinah memberikan bebeapa peluang terhadap segenap penduduk Madinah. Pertama, kebebasan melakukan adat kebiasaan yang baik (pasal 2); kedua, kebebasan dari penganiayaan dan menuntut hak (pasal 16,36); ketiga, kebebasan dari rasa takut, yakni hak atas hidup dan keselamatan diri, hak atas perlindungan diri (pasal 47); keempat, kebebasan berpendapat (pasal 37); kelima, kebebasan beragama (pasal 25, 26, 27…).
Dalam pandangan al-Maududi (1993, hlm. 91-107) ada beberapa prinsip politik Islam, yaitu keadilan antar manusia, persamaan antara kaum muslimin, permusyawaratan, ketaatan dalam hal kebajikan dan lain-lain. Menurutnya, Nabi diperintahkan untuk bertindak adil tanpa memihak (QS 42:15). Maka, hubungannya dengan manusia semuanya adalah sama, yaitu hubungan keadilan dan kejujuran. Dengan prinsip persamaan, semua kaum muslimin memiliki persamaan dalam hak-hak dengan sempurna, tanpa memandang warna, suku, bahasa atau tanah air.
Implementasi prinsip permusyawaratan adalah keharusan bagi para pemimpin negara dan pejabat-pejabatnya untuk bermusyawarah dengan kaum muslimin dan mencari keridhaan mereka, mengikuti pendapat mereka serta melaksanakan system pemerintahan dengan musyawarah. Dengan prinsip ketaaatan dalam hal kebajikan, perintah yang dikeluarkan oleh suatu pemerintahan atau penguasa kepada rakyat harus ditaati apabila perintahnya sesuai dengan ajaran Islam, tidak ada ketaatan bagi mereka dalam hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Sementara Rais berpendapat ada prinsip-prinsip yang harus diterapkan dalam politik seperti tauhid, syura, keadilan, kebebasan dan persamaan. Menurutnya, seluruh kegiatan hidup kaum muslimin bertumpu pada tauhid. Dengan menjadikan tauhid sebagai poros-sentral kehidupan, kaum muslimin menerapkan etika, nilai-nilai Islam dalam kehidupan bernegara dan berpemerintahan. Prinsip musyawarah yang dijalankan sesuai dengan ajaran Islam akan menjadi pagar pencegah yang kuat untuk penyelewengan negara ke arah otorotisme, despotisme dan pelbagai sistem lain yang membunuh hak-hak politik rakyat.
Selanjutnya, ia uraiakan bahwa dalam pandangan Islam negara harus bertujuan untuk melaksanakan keadilan seluas-luasnya, tidak saja keadilan hukum, melainkan juga keadilan social dan ekonomi. Persamaan harus menjadi prinsip konstitusional. Manusia harus berdiri sama di depan hokum, tanpa diskriminasi berdasarkan ras, asal-usul, keyakinan, pangkat atau latar belakang social ekonomi (Rais 1991, hlm. 45-56).
Metode Penelitian
Sumber Data
Sumber data pada penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Sumber data primer adalah data yang langsung dikumpulkan dari sumber pertama, yaitu karya-karya Said Nursi yang terkait dengan politik seperti Sunuhat, Munazarat, Divan-Harbi Orfi, Hutbe-i Syamiyyah dan kutipan-kutipan dari Risalah Nur.
Adapun sumber data sekunder bersumber dari buku, jurnal ilmiah, majalah, dokumen dan makalah-makalah yang terkait dengan topik penelitian ini sebagai data pendukung sumber data primer.
Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini merupakan riset kepustakaan (Library research), maka penelitian ini dimulai dengan proses penghimpunan bahan dan sumber data dalam bentuk buku, makalah, artikel, dan tulisan yang berkaitan dengan topik penelitian. Selanjutnya, penulis membaca data-data tersebut dan mencatatnya. Sesudah itu, penulis mengkategorikan data dan menyeleksi data-data tersebut untuk identifikasi konsep-konsep dasar pemikiran Said Nursi. Jadi, teknik pengumpulan data melalui dokumen yang terkait dengan topik penelitian.
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan historis dan pendekatan sosiologis. Pendekatan historis memungkinkan penulis mencatat arti dan maksud dari berbagai peristiwa dalam kehidupan Nursi dan membantu untuk menulis riwayat hidupnya secara kronologis. Di samping itu, dalam penelitian ini akan digunakan pendekatan sosiologis agar memehami setting sosial-politik yang berpengaruh kepada Nursi pada periode akhir Turki Usmani.
Teknik Analisis Data
Untuk menganalisis data, penulis akan mengunakan metode contents analysis (analisis isi) yaitu, suatu cara analisis ilmiah tentang pesan sesuatu komunikasi yang mencakup klasifikasi tanda-tanda yang dipakai dalam komunikasi, menggunakan kriteria sebagai dasar klarifikasi dan menggunakan teknik analisis tertentu sebagai membuat prediksi. Dengan menggunakan metode ini, penulis ingin mengeloborasi aspek-aspek isi materi, menganalisisnya dari aspek bahasa, kedalaman yang keluasan isi dan kaitan pokok-pokok masalah yang melingkupinya serta menarik garis koherensi dan konsistensi antara berbagai materi untuk disimpulkan. Data dan sumber pustaka yang ditemukan selanjutnya dibahas secara deskriptif-analitik (Muhadjir 1998, hlm. 56-58).
Dengan demikian, seluruh data dianalisis sedemekian rupa dengan beberapa perangkat seperti yang dikemukakan sebelumnya melalui analisis kritisis, untuk selanjutnya memunculkan kesimpulan sebagai tahap akhir dari proses penelitian ini.
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab pertama, pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metodologi penilitian dan sistematika pembahasan.
Bab Kedua, menguraikan riwayat hidup Said Nursi yang terdiri dari setting sosial politik, latar belakang keluarga, latar belakang pendidikan dan karya-karyanya, riwayat perjuangan dan pengaruhnya. Selain itu, bab ini juga akan menguraikan perubahan pada Said Nursi dari Said Qadim ke Said Jadid.
Bab Ketiga, menguraikan pemikiran Said Nursi tentang politik seperti prinsip musyawarah, kebebasan, nasionalisme, keadilan dan relevansi prinsip-prinsip tersebut dengan kehidupan politik modern.
Bab Keempat, adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
Bab 2
RIWAYAT HIDUP SAID NURSI
Setting Sosial-Politik Said Nursi
Kemunduran Turki Usmani dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dialami oleh Eropa pada abad ke- 18 menyadarkan pejabat-pejabat bahwa perlu pembaharuan pada Turki Usmani. Usaha pembaharuan mula-mula adalah membuka percetakan dan penerjemahan yang dipelopori oleh Ibrahim Mutafarrika. Maka mulailah pencetakan al-Qur’an, Hadits, tafsir dan ilmu agama yang lain. Begitu juga ilmu-ilmu umum seperti kedokteran , sejarah, ilmu pasti, astronomi dicetak. Sultan Salim III juga termasuk yang tertarik dengan usaha pembaharuan, walaupun ditentang keras, bahkan ia terbunuh karena ingin melancarkan perubahan di bidang kemiliteran, terutama golongan Yeniceri ( kelompok tentara baru dalam kerajaan Ottoman yang amat berpengaruh).
Selanjutnya, Mahmud II berusaha membersihkan sisa-sisa dominasi kekuasaan Turki Usmani yang feodal dan absolut dalam pemerintahan. Sultan dianggap menjalankan kekuasaan tuhan sehingga secara undang-undang tidak dapat di tuntut, maka diganti bahwa sultan hendaknya berkuasa berdasarkan undang-undang, sehingga rakyat dapat meminta pertanggungjawabannya. Sejak Mahmud II pula dikenal ada perdana menteri yang mengurusi pemerintahan dan membawahi menteri-menteri di bidang luar negeri, dalam negeri dan pendidikan. Disinilah ia meletakkan perbedaan yang mendasar antara kekuasaan negara dengan agama, persoalan-persoalan agama diurus oleh syariat dan persoalan negara diurus oleh hukum sekuler yang dikeluarkan oleh dewan perancang hukum untuk mengaturnya. Dengan demikian bintik-bintik sekularisme sudah mulai ada sejak dia berkuasa.
Apa yang dilakukan oleh Mahmud II itu dianggap sebagai langkah lebih maju lagi atas program pembaruan yang sebelumnya pernah dirintis oleh Mutafarrika dan lainnya. Jadi upaya yang lebih sungguh-sungguh dalam upaya menerapkan ide-ide barat dengan cara radikal melalui kekuatan politik militer, sehingga pengaplikasian amat sunguh-sungguh. Akar-akar pemikiran inilah nanti yang kemudian dikembangkan oleh pembaru generasi berikutnya.
Kelompok Tanzimat suatu generasi pelanjut dari ide-ide Mahmud II yang banyak berperan mengadakan usaha perbaikan, pengaturan dan penyusunan undang-undang baru baik bidang ekonomi, pendidikan, militer, pemerintahan dan sosial di Turki pada waktu gencar-gencarnya usaha modernisasi Turki. Peran kelompok Tanzimat yang lebih efektif antar tahun 1839-1971. Walaupun nanti kelompok ini tidak secara langsung berada di pemerintahan, namun ide mereka berpengaruh dalam kekuasaan negara (Sani 1998, hlm. 87-88).
Mustafa Rasyid Pasya adalah tokoh utama dari kelompok tanzimat. Pada tahun 1834 ia dikirim ke Paris sebagai duta besar dan mengunjungi beberapa negara eropa. Ia melihat sebab-sebab kemajuan yang dicapai oleh negera Barat secara umum antar lain, toleransi kehidupan beragama sangat tinggi dan orang Barat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada tahum 1839 ia diangkat menjadi perdana menteri. Pembaruan yang diterapkan olehnya selain mengacu kepada pengalaman puluhan tahun di luar negeri, juga secara praktis ia memperbarui sistem perundangan Turki.
Tokoh yang lain dari kelompok tanzimat adalah Mehmed Sadik Rifat Pasya (1807-1856). Menurutya, kemakmuran suatu negara bergantung pada kemakmuran rakyat, dan kemakmuran dapat diperoleh dengan menghilangkan pemerintahan absolut. Dalam pemerintahan sewenang-wenang rakyat meresa tidak aman dan tentaram. Hal ini akan membuat mereka kurang giat berusaha dan bekerja. Kejujuran dalam pekerjaan hilang, korupsi banyak dijalankan dan orang lebih mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan umum. Produktivitas menurun dan ini akhirnya akan membawa kepada kejatuhan negara. Hal inilah tidak adanya rasa ketentraman baik dikalangan rakyat maupun dikalangan pegawai, yang menjadi sebab utama bagi kemunduran dan kelemahan Kerajaan Usmani.
Obatnya ialah pengadaan undang-undang dan peraturan. Sultan dan pembesar-pembesar negara harus tunduk pada undang-undang dan peraturan. Negara harus merupakan negara hukum. Pemikiran Sadik Rifat sejalan dengan pemikiran Mustafa Rasyid Pasya, yang pada waktu itu mempunyai kedudukan sebagai Menteri Luar Negeri. Atas pengaruhnya berhasillah langkah pertama dalam pengadaan undang-undang dan peraturan sebagai dimaksud oleh Sadik Rifat. Ditahun 1839, Abdul Majid, sultan yang menggantikan Mahmud II, mengeluarkan Hatt-i Syerif Gulhane (Piagam Gulhane).
Piagam itu menjelaskan bahwa pada masa permulaan Kerajaan Usmani syari’at dan undang-undang negara dipatuhi dan oleh karena itu kerajaan menjadi besar serta kuat dan rakyat hidup dalam kemakmuran. Tetapi pada masa seratus lima puluh tahun terakhir syariat dan undang-undang tak diperhatikan lagi, dan sebagai akibatnya kemakmuran rakyat hilang untuk digantikan oleh kemiskinan dan kebesaran negara lenyap untuk ditukar oleh kelemahan (Nasution 1975, hlm. 98-99).
Oleh karena itu perlulah diadakan perubahan-perubahan yang akan membawa kepada pemerintahan yang baik. Dasar-dasar untuk perubahan itu adalah :
- Terjaminnya ketentraman hidup, harta dan kehormatan warga negara.
- Peraturan mengenai pemungutan pajak.
- Peraturan mengenai kewajiban dan lamanya dinas militer.
Selanjutnya dijelaskan bahwa orang tertuduh akan diadili secara terbuka dan sebelum ada pengadilan pelaksanaan hukuman mati dengan racun atau jalan lain tidak dibolehkan. Pelanggaran terhadap kehormatan seseorang juga tidak lagi diperkenankan. Hak milik terhadap harta dijamin dan tiap orang mempunyai kebebasan terhadap harta yang dimilikinya. Ahli waris dari yang kena hukum pidana tidak boleh dicabut haknya untuk mewarisi dan demikian pula harta yang kena hukum pidana tidak boleh disita.
Atas dasar piagam ini terjadilah pembaharuan-pembaharuan pada berbagai institusi kemasyarakatan. Dalam bidang pemerintahan pembaharuan diadakan dengan mengajak rakyat memberikan pendapat tentang soal-soal negara dan administrasi. Wakil-wakil rakyat dari daerah-daerah diundang datang ke Istanbul pada tahun 1845. Karena terlalu baru bagi rakyat, sistem musyawarah dalam soal kenegaraan tidak dapat berjalan dengan baik. Sebagai gantinya Sultan mengirim utusan-utusan ke daerah-kedaerah untuk meninjau keadaan dan pendapat daerah tentang usaha pembaharuan yang sedang dijalankan. Laporan mereka dipakai pemerintah pusat sebagai pegangan untuk usaha-usaha pembaharuan selanjutnya.
Pada tahun 1856 diumumkan lagi suatu piagam baru, Hatt-i Humayun, yang lebih banyak mengandung pembaharuan terhadap kedudukan orang Eropa yang berada dibawah kekuasaan Kerajaan Usmani. Pembaharuan-pembaharuan lain, yang dikandung piagam Humayun antara lain adalah : pengadaan anggaran belanja tahunan negara, pembukaan bank-bank asing, pemasukan kapital Eropa Kerajaan Usmani, pengadaan undang-undang dagang, penghapusan hukum bunuh terhadap orang yang keluar dari Islam dan pemasukan anggota-anggota bukan Islam kedalam Dewan Hukum.
Pembaharuan yang dijalankan di zaman Tanzimat tidak seluruhnya mendapat penghargaan, bahkan mendapat kritik dari kaum intelegensia Kerajaan Usmani yang ada pada waktu itu. Kedua piagam yang menjadi dasar pembaharuan Tanzimat mengandung faham sekularisme dan dengan demikian mambawa sekularisasi dalam berbagai institusi kemasyarakatan, terutama dalam institusi hukum. Piagam Gulhane menyatakan penghargaan tinggi pada syari’at, tetapi dalam pada itu mengaku perlunya diadakan sistem hukum baru.
Kritik ditujukan pula terhadap sikap pro-Barat yang dianut pemuka-pemuka Tanzimat. Sikap pro-Barat itu membuka pintu bagi masuknya pengaruh dan turut campurnya negara-negara Barat dalam soal intren Kerajaan Usmani. Hal ini akhirnya membawa kepada jatuhnya kekuatan ekonomi negara ini. Kerajaan Usmani menjadi makin lemah dalam menghadapi Eropa (Nasution 1975, hlm. 99-104).
Dalam kondisi tersebut muncul beberapa kelompok untuk menyelamatkan Turki Usmani. Salah satunya adalah kelompok Usmani Muda atau Ittifaq–i Humayat yang muncul pada tahun 1865 . Mereka bertujuan untuk mengadakan Barlawanan secara rahasia terhadap kekuasan absolut sultan. Terutama sekali atas pemberlakuan pemerintahan absolut menjadi pemerintahan yang konstitusional. Pemikiran yang dikembangkan oleh Usmani Muda mempunyai dampak positif bagi pembaruan setelah Tanzimat di Turki. Dalam usaha pengembangan ide pembaruan dan kritikan-kritikan terhadap pemerintahan absolut, saluran media masa banyak dipergunakan. Tahun 1861, Ibrahim Sinasi Effendi ( 1242 H/1826 M) mendirikan sebuah surat kabar yang bernama Tasvir-i Efkar ( gambaran Pemikiran). Sebagai akibat penilaian pemerintah yang sangat tajam, ia terpaksa meninggalkan Turki pada tahun 1864. Selanjutnya surat kabar tersebut dipimpin oleh Namik Kemal (1840-1888). Sebagaimana pimpinan pertama, Namik Kemal, pada tahun 1867 juga harus meninggalkan Turki (Ensiklopedi Islam 1993, hlm.144).
Ziya Pasya (1825-1880), sebagai tokoh dan pemuka Usmani Muda, berpandangan bahwa kemajuan Eropa hanya dapat dicapai dengan pemerintahan yang bersifat konstitusional. Agar Turki menjadi negara maju, ia harus meninggalkan absolutisme dan menggantinya dengan negara kosntitusional. Negara konstitusional tidaklah bertentangan dengan Islam. Islam tidak menyetujui pemerintahan absolut. Ia menjunjung tinggi nilai-nilai permusyawaratan. Sungguhpun mengakui kebesaran dan kemajuan Eropa, Ziya Pasya tidak sepenuhnya menerima Barat dan menirunya dalam segala hal. Umat Islam harus bersifat kritis terhadap nilai-nilai kemajuan dan kebudayaan Barat. Dalam banyak hal, apa yang dimiliki Barat dan membawa kemajuan adalah nilai-nilai yang mendapat legitimasi dari Islam.
Namik Kemal, yang terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran Ibrahim Sinasi Effendi, mempunyai pandangan yang sama dengan Ziya Pasya dalam memajukan Turki. Ide-ide barat tak dapat diterima tanpa melalui seleksi agar sejalan dengan nilai-nilai Islam. Kebesaran jiwa Namik Kemal mengantarkannya untuk berani memberikan kritikan-kritikan terhadap pembaruan yang dilancarkan oleh Tanzimat yang sepenuhnya telah menerima Barat, yang menjuru ke sekular dan memasukkan intitusi-institusi Barat yang belum tentu sejalan dengan ajaran Islam dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dunia Timur. Menurutnya, syariat Islam mampu untuk membenahi bentuk-bentuk pemerintahan dan mampu menghadapi masuknya pengaruh barat dalam urusan pemerintahan Islam.
Midhat Pasya (1822-1883), sebagaimana dua pendahuluannya, juga menginginkan kekuasaan sultan dibatasi oleh konstitusi. Pada saat Midhat Pasya menjadi perdana menteri, ia mengajukan usul kepada Sultan agar konstitusi segera diadakan bagi kerajaan Ottoman. Konstitusi yang diajukan pemerintahan harus bertanggung jawab kepada parlemen, komposisi parlemen diatas dasar nasionalisme Turki, bukan atas dasar agama atau etnis, wakil-wakil rakyat harus terlepas dari afiliasi agama dan etnis, dan otonomi harus diberikan kepada daerah-daerah yang mayoritas penduduknya non muslim atau non Turki.
Usul ketiga tokoh Usmani Muda untuk membatasi keabsolutan sultan-sultan Turki melalui konstitusi itu terwujud dengan keluarnya konstitusi tahun 1876. Sungguhpun demikian, dalam pelaksanaan konstitusi itu terdapat kendala-kendala yang tak terelakkan. Konstitusi yang ditandatangani pada tanggal 23 Desember 1876 tersebut bukanlah konstitusi yang bersifat demokrasi. Dalam konstitusi tersebut terdapat ketentuan bahwa sultan tetap memiliki kekuasaan penuh dan mempunyai hal yang tidak terbatas. Pasal 3 mengungkapkan bahwa kedaulatan terletak ditangan sultan, bukan ditangan rakyat. Pasal 4 menyatakan bahwa sultan bersifat suci dan tidak bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya. Pasal 54, rencana undang-undang baru dapat menjadi undang-undang kalau telah disetujui oleh sultan. Kesemuanya pasal itu memberikan indikasi bahwa sultan masih mempunyai kedudukan tinggi dan mempunyai kekuasaan besar. Pasal-pasal yang tercantum dalam undang-undang 1876 itu tidak semuanya mengandung pengertian yang tegas dalam hal pembatasan kemutlakan kekuasaan sultan, bahkan banyak pasal justru membuat sultan menjadi autokrat.
Disamping kendala yang berasifat intren dalam kosntitusi, terdapat pula halangan-halangan ekstren dari luar konstitusi. Gerakan Usmani Muda pada hakekatnya bukanlah gerakan yang muncul dari rakyat dan atas dasar kepentingan rakyat. Pada saat itu tingkat kesadaran politik dan kedalaman pengetahuan rakyat Turki masih rendah, sehingga mereka tidak memahami apa yang dikehendaki oleh konstitusi tersebut, dan keuntungan apa yang didapat dari sistem konstitusional. Dalam merumuskan kostitusi, kebanyakan golongan cendikiawan Turki dipengaruhi oleh pertentangan dan perbedaan pendapat yang sukar dipertemukan. Disamping itu, kebanyakan ulama menentang pengadaan konstitusi dan tetap mempertahankan kebiasaan-kebiasaan yang telah berlangsung lama didalam dunia Islam (Ensiklopedi Islam 1993, hlm. 145-146).
Kelompok Turki Muda merupakan kelanjutan dari gerakan-gerakan pembaruan sebelumnya. Cara sultan Abdulhamid memerintahkan Turki semakin otoriter dan absolut. Rakyat tidak mempunyai kebebasan berpendapat. Kritik dan kecaman atas kekuasaan sultan yang demikian besar tidak saja datang dari umum tetapi juga kaum intelegensia, kalangan akademik ( perguruan tinggi, kelompok militer dan rakyat sipil). Gambaran demikian mendorong lahirnya gejolak dan kebangkitan oposisi, yang berusaha menentang sikap pemerintah dan muncullah kelompok Turki Muda. Ada tiga tokoh utama yang melopori kelopok tersebut, yaitu; Ahmed Riza, Mehmed Murad dan Pangeran Sabahuddin (Sani 1998, hlm. 102-103).
Menurut Ahmed Riza (1859-1931), jalan yang harus ditempuh untuk menyelamatkan Turki Usmani ialah pendidikan dan ilmu pengetahuan positif bukan teologi atau metafisika. Adanya dan terlaksananya program yang baik berhajat pada pemerintahan konstitusional. Pemerintahan konstitusional tidak bertentangan dengan Islam, karena dalam Islam terdapat ajaran musyawarah dan musyawarah adalah dasar pemerintahan konstitusional.
Pelopor kedua, Pangeran Sabahuddin (1877-1948), berpendapat problema yang ada di Turki Usmani perlu dipandang dari sudut sosiologi bahwa perlu perubahan sosial. Masyarakat Turki sebagai masyarakat timur mempunyai corak kolektif dan masyarakat kolektif tidak mudah berubah dalam menuju kemajuan. Dalam masyarakat kolektif, orang tidak bisa percaya pada diri sendiri, tetapi senantiasa bergantung kelompoknya. Selama masyarakat Turki masih bersifat kolektif, Sultan tetap akan mempunyai kekuasaan absolut. Ia menganjurkan supaya diadakan desentralisasi dalam bidang pemerintahan. Daerah-daerah diberi otonomi dan sistem otonomi itu, sebaiknya dilaksanakan sampai tingkat desa.
Pelopor ketiga, Mehmed Murad (1853-1912), berpendapat sebab kemunduran turki Usmani terletak pada Sultan yang memerintah secara absolut. Oleh karena itu, kekuasaan sultan harus dibatasi. Ia berpendapat juga musyawarah dalam Islam sama dengan pemerintahan konstitusional Barat. Karena sultan tidak setuju dengan Konstitusi, ia mengusulkan supaya ddirikan suatu Badan Pengawas yang tugasnya ialah menjaga supaya undang-undang tidak dilanggar pemerintah. Di samping itu, perlu diadakan Dewan Syariat Agung yang anggotanya tersusun dari wakil-wakil ngera Islam di Afrika dan Asia.
Sungguhpun ada perbedaan pendapat dan politik antar tiga pelopor di atas beserta pengikut masing-masing, mereka sepakat untuk menggulingkan Sultan Abdulhanid. Keputusan ini diambil setelah diadakan dua kali konferensi di Eropa, yang terakhir pada tahun 1907 di Paris.
Kedudukan pemerintahan Turki Muda memang tidak kuat dan kesempatan ini dipakai oleh sultan untuk mengembalikan kekuasaanya. Tetapi Enver Pasya dengan kekutan Batalyon III masuk Istanbul dan merampas kekuasaan, sultan digulingkan pada tahun 1909, lalu diganti oleh saudaranya sultan Mahmed V. Keberhasilan kaum pembaru makin nampak, ketika pemilihan umum kembali diadakan tahun 1912 untuk kedua kalinya mereka memperoleh kemenangan besar. Parlemen mereka kuasai dan kantor pusat organisasi yang tadinya berada di Salonika mereka pindahkan ke Istanbul (Nasution 1975, hlm. 119-124). Uraian di atas merupakan gambaran umum kondisi politik dan sosial di Turki Usmani pada waktu kelahiran Said Nursi dan kondisi tersebut berpengaruh pemikiran politik Nursi.
Latar Belakang Keluarga, Kelahiran dan Masa Kecil Said Nursi
Bediuzzaman Said Nursi dilahirkan menjelang fajar musim semi di Nurs, sebuah desa kecil di propinsi Bitlis wilayah Turki Timur pada 1293 H/1877 M. Daerah tempat kelahirannya ini terdapat lereng dan lembah gunung Taurus, daerah danau Van (Vahide 2000, hlm. 3).
Nama asli Bediuzzaman Said Nursi adalah Said bin Mirza. Ia dilahirkan dalam sebuah keluarga petani yang sederhana dari pasangan Mirza dan Nuriye (Nuriyyah). Kedua orang tuanya itu adalah dari keturunan Kurdi. Said bin Mirza juga dikenal dengan sebutan Said Nursi yang merujuk kepada tempat kelahirannya (desa Nurs). Berdasarkan sumber Sham al-Haqq al-Azzim Abadi yang dikutip Zaidin (2001), bahwa nenek moyang Nursi berasal dari Isbartah (Isparta). Mereka berasal dari keturunan Ahl al-Bayt.* Said Nursi merupakan anak keempat dari tujuh orang adik beradik, yaitu Durriyyah, Khanim, Abdullah, Said (Nursi), Muhammad, Abd al-Majid dan Marjan (Zaidin 2001, hlm. 7).
Ayahnya bernama Mirza, seorang sufi yang sangat wara’ dan diteladani sebagai seorang yang tidak pernah memakan barang haram dan hanya memberi makan anak-anaknya dengan yang halal saja. Dikisahkan, bahwa setiap ternaknya kembali dari penggembalaan, mulut-mulut ternak tersebut dibuka lebar-lebar khawatir ada makanan dari tanaman kebun milik orang yang dimakan. Ibunya (Nuriah) pernah berkata, bahwa dirinya hanya menyusui anak-anaknya dalam keadaan suci dan berwudu (Salih 2003, hlm. 8).
Said Nursi di usia kecil sudah memperlihatkan tanda-tanda seorang jenius. Hal ini seperti terlihat kebiasaan ia banyak bertanya dan gemar menelaah masalah-masalah yang belum dimengertinya. Ia juga suka membuat pertanyaan ilmiah dalam benaknya
. Kisah tentang pengalaman kecil Said Nursi tersebut seperti dituliskan berikut ini:
Saat aku masih kecil, imajinasiku bertanya kepadaku, manakah yang dianggap lebih baik dari dua masalah? Apakah hidup bahagia selama seribu tahun dalam kemewahan dunia dan berkuasa, namun berakhir dengan ketiadaan, atau kehidupan abadi yang ada namun harus dijalani dengan penuh derita? Kemudian, aku melihat imajinasiku lebih memilih alternatif kedua daripada yang pertama dengan menyatakan: Aku tidak menginginkan ketiadaan, bahkan aku menginginkan keabadian meskipun di dalam neraka jahanam. (Salih 2003, hal. 9).
Di usia kecil ini, Said Nursi juga gemar menghadiri forum pendidikan yang diselenggarahkan untuk orang-orang dewasa dan menyimak diskusi-diskusi tentang berbagai kajian, khususnya majelis ilmiah yang dihadiri oleh para ulama setempat di rumah ayahnya. Selain itu ia terkenal seorang anak yang sangat pandai memelihara harga diri dari perbuatan zalim. Sikap dan sifat-sifat tersebut terus melekat dan bertambah kuat dalam kepribadiannya.
Ia juga terkenal seorang yang sangat pandai memelihara harga diri, tidak pernah mau menerima Barlakuan sewenang-wenang dan sejak kecil selalu menjauhkan diri dari perbuatan zalim. Sikap dan sifat-sifat ini terus melekat dan bertambah kuat dalam kepribadinya setelah ia dewasa, juga tercermin dalam sikapnya saat dijumpai oleh lain, baik dari kalangan para penguasa maupun pihak berwajib (Salih 2003, hlm. 9).
Melihat pengalaman hidup Said Nursi di masa kecilnya ini, ia dapat digolongkan sebagai anak yang unik, aktif, dan rajin, juga pandai memanfaatkan waktu untuk kepentingan menimba ilmu pengetahuan. Dengan pengalaman hidup dan ditunjang oleh perwatakan yang baik inilah telah memberi bekal yang berharga bagi pengalaman hidup Said Nursi selanjutnya.
Latar Belakang Pendidikan
Dalam dunia pendidikan, untuk pertama kali Said Nursi belajar di khuttab (madrasah) pimpinan Molla Mehmet Emin di desa Thag, sebagaimana ia juga belajar kepada kakaknya, Abdullah, pada setiap liburan akhir pekan. Namun keberadaannya di desa Thag ini hanya berlangsung sebentar saja, karena kegiatan belajarnya di lanjutkan di madrasah desa Birmis (Salih 2003, hlm. 9-10).
Di Birmis, Nursi berguru dengan Syaikh Sayyid Nur Muhammad. Sebagaimana di Tagh, pengajiannya disini juga terganggu. Kali ini Nursi diganggu oleh empat orang pelajar nakal. Nursi yang tidak tahan dengan keadaan tersebut telah mengadu kepada gurunya. Katanya, “Tuan, saya harap tuan dapat memberitahu pelajar-pelajar itu agar tidak mengganggu saya secara berempat. Saya sanggup menghadapi mereka sekiranya mereka datang secara berdua”. Keberanian Nursi ini mengejutkan gurunya. Dengan nada membujuk gurunya itu berkata , “Kamu adalah pelajarku, aku tidak akan biarkan seorangpun mengganggumu”. Selepas peristiwa itu, Nursi dikenali dengan gelaran Tilmidh al-Shaykh (Murid Kesayangan Guru), disebabkan keakraban dan penghormatan guru tersebut terhadapnya (Zaidin 2001, hlm. 9).
Setelah berguru dengan Sayyid Nur Muhammad, Nursi pergi ke Nursin bersama kakaknya, yaitu Abdullah. Karena musim panas, mereka meninggalkan desa dan pergi ke padang rumput Syaikhan bersama penduduk desa dan murid-murid yang lain. Disitu Nursi berkelahi dengan Abdullah. Salah satu guru Madrasah Tag, yaitu Mehmed Emin Efendi marah kepada Nursi tidak menerima otoritas syaikh tersebut dan menyatakan kepadanya bahwa karena disini madrasah yang dimiliki oleh Syaikh Abdurrahman Tagi, kamu juga murid seperti saya dan kamu tidak punya hak untuk bertindak sebagai guru. Sesudah itu, ia segera meninggalkan madrasah menuju ke Nursin, melalui hutan yang tidak bisa dilewati pada siang hari ( Vahide 2003, hlm. 7).
Ketika ia selama masih anak-anak dalam mimpi dikisahkan bahwa dirinya melihat Rasulullah SAW. Peristiwa tersebut selalu diingat sampai akhir hayatnya. Dalam mimpi tersebut ia melihat seolah-olah kiamat telah terjadi dengan segala kejadian yang sangat mengerikan dan seluruh manusia dihimpun. Ketika itu, perasaan ingin melihat Nabi SAW pun begitu menggebu-gebu, tapi bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi, di manakah dirinya dapat menjumpainya dalam keadaan berdesak-desakan seperti ini?..Pada waktu dirinya sedang berpikir demikian dan dalam keadaan sedang berada di tengah kerumunan orang banyak, terlintaslah dalam benaknya untuk pergi ke jembatan Shirat (jembatan menuju surga), karena Rasulullah SAW pun pasti akan melintasi jembatan tersebut, dengan demikian bergegaslah Bediuzzaman menuju ke sana dan di sana ia diam menunggu Rasulullah SAW melintasinya selama dalam penantian ini, para nabi melewatinya, lalu tangan mereka dijabat dan dicium. Kemudian Nabi SAW yang dinanti-nanti pun lewat padanya. Ketika itu dirinya adalah seorang Said Nursi yang masih kecil yang sedang berada di hadapannya sambil menciumi kedua tangannya. Setelah itu, ia memohon darinya agar diberi ilmu, lalu Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Engkau akan diberi ilmu Al-Qur’an dengan syarat engkau tidak boleh bertanya-tanya kepada siap pun dari kalangan umatku.” (Salih 2003, hlm. 15).
Pada tahun 1888 M. ia pergi ke Bitlis dan mendaftarkan diri di sekolah Syaikh Amin Afandi. Tetapi hanya sebentar saja di sekolah tersebut, sebab Syaikh tersebut menolak untuk mengajarnya dengan alasan faktor usia yang belum memadai. Ia hanya dititipkan pada orang dalam hal ini membuat ia sedih. Kemudian, ia segera mengalihkan perhatiannya untuk masuk di sekolah Mir Hasan Wali di Mukus, kemudian di sekolah yang terletak di Waston (Kawasiy). Hanya bertahan satu bulan, selanjutnya ia bersama seorang temannya yang bernama Muhammad berangkat menuju sekolah di Bayazid, salah sebuah daerah yang termasuk ke dalam wilayah Agri pada tahun 1891.
Disinilah Said Nursi mempelajari ilmu-ilmu agama dasar, karena sebelum itu ia hanya belajar Nahwu dan Sharaf saja. Disekolah yang terakhir inilah dan dengan berada di bawah bimbingan Syaikh Muhammad Jalali, Said Nursi belajar dengan segala kesungguhan dan secara intensif untuk jangka waktu tiga bulan lamanya. Selama itu, ia berhasil membaca seluruh buku yang pada umumnya dipelajari di sekolah-sekolah agama. Tercatat, bahwa Said Nursi dalam kesehariannya selalu membaca dua ratus halaman buku yang bahasanya sangat sulit dimengerti. Namun demikian, ia mampu memahaminya tanpa harus merujuk pada catatan kaki atau catatan pinggir (Salih 2003, hlm. 10-11). Disini dia belajar sekitar 80 kitab, diantaranya ; Jam’u al-Jawami, Syarh al Mawakif dan Tuhfah. Setelah tiga bulan berlalu, ia pun berhasil menggondol ijazah dari Syaikh Muhammad Jalali.
Kemudian Said Nursi berangkat menuju Bitlis untuk mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad Amin. Dari sini ia melanjutkan studinya ke kota Syirwan, tempat seorang kakaknya yang bernama Abdullah. Selanjutnya dari kota ini ia menuju ke Si’rad untuk menjadi siswa seorang ulama kenamaan, Fathullah Afandi, yang bertanya kepadanya:
“Engkau katanya telah selesai membaca as-Suyuthi pada tahun yang silam, tapi apakah engkau telah selesai membaca kitab al-Jami pada tahun ini?”
Kemudian oleh Nursi dijawab: “Ya, saya telah selesai membacanya secara keseluruhan.”
Kemudian Syaikh Fathullah Afandi mulai menyebutkan nama kitab-kitab kepadanya dan oleh Said Nursi dijawab bahwa semua kitab tersebut telah selesai dibaca. Syaikh Afandi berdecak kagum mendengar pernyataan ini, lalu sambil bercanda ia berkata: “Sungguh pada tahun yang silam engkau ini orang gila, apakah sampai sekarang engkau masih tetap gila?”
Ketika itu, Said Nursi menunjukkan kesiapannya untuk diuji seputar kitab-kitab di atas. Pada waktu menjalani ujian, ia dengan mantap mampu menjawab setiap soal yang disampaikan. Peristiwa ini sungguh telah membuat Syaikh Fathullah geleng kepala dan sangat kagum, sampai pada akhirnya ia berkata: “Baik,…. Sungguh engkau ini seorang yang dikaruniai kejeniusan yang luar biasa. Namun demikian, biarkan kami untuk mengetahui daya hafalanmu. Apakah engkau bersedia membaca beberapa baris dari kitab ini dua kali, lalu menghafalnya?”
Kemudian ia memberikan kitab Maqamat al-Hariri. Said Nursi pun meraihnya lalu membaca tulisan yang termaktub dalam halaman pertama dan hanya dibaca satu kali saja. Ternyata dengan satu kali membaca, ia mampu menghafalnya. Tentu saja apa yang terjadi membuat Syeikh Fathullah Afandi semakin kagum, sehingga ia berkata lagi: “Sungguh perpaduan antara otak jenius yang luar biasa dengan daya hafal yang luar biasa seperti yang engkau miliki merupakan kejadian yang sangat jarang”.
Ketika said Nursi berada di sisi Syaikh Fathullah Affandi secara intensif ia setiap harinya selama satu minggu membaca kitab Jam’ul Jawami’ (Kitab tentang Ushul Fiqh) karya Ibn as-Subki. Tenggang waktu yang digunakan untuk membaca kitab tersebut ternyata mencakup untuk menghafalnya juga, sehingga Syaikh Fathullah pun terdorong untuk menulis catatan dalam sampul kitab tersebut dengan kata-kata “Laqaad Jama’a fi hifzihihi, Jam’ al-Jawami’.Jami’ilhi fi jum’atin = Sungguh seluruh kitab Jam’ul Jawami’ telah mampu dihafal hanya dalam satu minggu (Salih 2003, hlm. 11-12).
Kemudian ia berangkat menuju Bitlis dan dari sana ke kota Tillo. Untuk beberapa lamanya selama berada di kota ini, ia melakukan iktikaf di salah satu tempat ibadah dan selama itu ia menghafal kamus al-Qamus al-Muhith, karya al-Fairuz Abadi, sampai pada huruf Sin.
Pada tahun 1892 M. said Nursi berangkat menuju Mardin untuk menyampaikan pengajian di Masjid Raya kota tersebut dan menjawab berbagai pertanyaan yang disampaikan oleh pesertanya. Ketika itu walikota setempat, Nadir Bek, karena termakan hasutan sebagian para pegawainya merasa bahwa Said Nursi seorang yang berbahaya dan telah membuat kekacauan di kota wilayah kekuasaannya. Dengan demikian, ia divonis agar keluar dari kota Mardin (Salih 2003, hlm. 13).
Pada tahun 1894, Said Nursi berangkat menuju kota Wan berdasarkan undangan wali kotanya yang bernma Hasan Pasya agar tinggal bersamanya. Kemudian dari sana ia pindah ke rumah Thahir Pasya. Selama berada di sana Allah Ta’ala telah mempersiapkan situasi dan kondisi agar dirinya bertemu dengan sebagian para intellektual dari berbagai disiplin ilmu modern, seperti: Geografi, kimia, dan lain-lain. Ketika ia terlibat dialog dengan mereka, dirasakan bahwa penguasaan dirinya terhadap ilmu-ilmu tersebut mempelajarinya. Dengan semangat dan kecintaan yang menggelora ia pun menyambut tuntutan tersebut, sehingga berhasil menjadi seorang ilmuwan yang ahli dan mampu bergaul dan juga berdebat dengan orang-orang yang mengkhusukan diri di bidang tersebut. Dalam waktu relatif singkat sekali ia mampu menguasai matematika, ilmu falak, kimia, fisika, geologi, filsafat, sejarah, geografi, dan lain-lain. Berkat potensinya yang mampu menyerap berbagai disiplin ilmu dan otaknya yang sangat jenius, popularitas ia segera tersebar luas an digelari Badi’uzzaman (Keindahan Zaman).
Semasa menetapnya Bediuzzaman, di kota Wan, suatu hari Wali Kota Wan menginformasikan kepadanya tentang berita menggemparkan yang dimuat surat kaar setempat dan membuat ia gemetaran karena menahan emosi. Dalam surat kabar tersebut dikemukakan, bahwa menteri urusan koloni Inggris, Gladystone, di depan anggota parlemen dengan menggenggam Al-Quran telah berkata: Selama Al-Qur’an ini berada di tangan kaum muslimin, kita pun tidak akan pernah mau menguasai mereka. Dengan demikian, bagi kita tidak ada jalan lain kecuali melenyapkannya atau memutuskan hubungan kaum muslimin dengannya.
Berita ini telah membuat Said Nursi bergetar dan bertekad untuk mengabdikan seluruh hidupnya agar mukjizat Al-Qur’an berkibar dan kaum muslimin terikat dengannya. Ketika itu ia berkata: “Aku sungguh akan menunjukkan kepada dunia bahwa al-Qur’an adalah matahari maknawi (hakikat) yang tidak akan redup sinarnya dan tidak mungkin padam cahayanya”( Salih 2003, hlm. 14-15).
Karya-karya Said Nursi
Sebelum Nursi menulis Risale-i Nur, ia mempunyai beberapa karya pada periode Said Qadim. Karya-karya tersebut adalah Taliqat (buku yang mengenai logika), Muhakamat (buku yang terkait dengan kaidah-kaidah untuk penafsiran al-Qur’an, sastra dan lain-lain), Sunuhat (buku ini terisi berbagi topik seperti kemukjizatan al-Qur’an, keadilan, khilafah dan peradaban), Munazarat (buku ini terisi dengan debat antara Said Nursi masyarakat Turki Timur mengenai pemerintahan konstitusional, musyawarah, hukum dan lain-lain), Divan-Harbi Orfi (buku yang berisi penjelasan Nursi kepada masyarakat Istanbul mengenai seputar masalah politik), Hutbe-i Syamiyyah (Khutbah yang berisi penyakit yang melanda umat Islam dan pengobatannya), Hutuvat-i Sitte (buku yang berisi serangan Nursi terhadap Inggris ketika mereka mau menduduki Istanbul. Kesimpulannya, karya-karya tersebut membahas pemikiran Nursi tentang politik, sosial, sastra, logika dan lain-lain.
Pada periode Said Jadid, Nursi megarang master pieces-nya, yaitu Risale-i Nur dalam bahasa Turki dan Arab. Dalam bahasa Turki memuat beberapa bagian, yaitu Mektubat (kumpulan surat-surat), Sualar (kumpulan pertanyaan-pertanyaan), Sozler (kumpulan kata), Lemalar (kumpulan cahaya), Mesnevi Nuriye (ringkasan-ringkasan isi Risale-i Nur), Asa-yi Musa (Tongkat Nabi Musa), Iman ve Kufur Nuvazeneleri (pembahasan tentang iman dan kufur), Sikke-i Tasdiki Gaybi (mengungkap kebenaran alam ghaib), Kastamonu Lahikasi (berisi tentang surat-surat Nursi kepada para muridnya dan jawaban untuk surat dari muridnya selama ia berada di Kastamonu), Barla Lahikasi (berisi tentang surat-surat Nursi kepada para muridnya dan jawaban untuk surat dari muridnya selama ia berada di Barla), dan Emirdag Lahikasi (berisi tentang surat-surat Nursi kepada para muridnya dan jawaban untuk surat dari muridnya selama ia berada di Emirdag); dan dua buku dalam bahasa Arab berjudul Isyarat al-I’jaz (tanda-tanda kemu’jizatan al-Qur’an) dan Matsnawi al-‘Arabi an-Nuriy (pembahasan singkat kandungan Risale-I Nur).
Sebagai contoh, Mektubat (edisi Bahasa indonesia, Menjawab Yang Tak Terjawab, Menjelaskan Yang Tak Terjelaskan) memuat tentang tingkat kehidupan, rahmat dalam kematian dan kemalangan, Asma Allah SWT, mukjizat Rasulullah SAW, makna mimpi, hikmah penciptaan syetan, mengapa harus ada mukjizat dan lain sebagainya. Penyajian buku ini menjawab dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan dengan dalil naqli dan argumentasi serta pendekatan analogi yang aktual dan relevan.
Buku Mesnevi-i Nuriye (edisi Bahasa Indonesia, Sinar Yang Mengungkap Sang Cahaya) berisi tentang tentang tafsir kalimat Laa Ilaha Illallah yang menjadikan segala sesuatu yang ada di jagad ini bagaikan rangkaian kepingan-kepingan bermakna yang memantulkan ke-Esaan Allah rabb al-‘alamin. Buku ini juga merupakan ringkasan dari Risale-I Nur.
Buku Lem’alar (edisi Bahasa Indonesia, Menikmati Takdir Langit) mengandung 33 Cahaya, membahas peristiwa yang menimpa para Nabi Allah SWT, mengenai kemukjizatan Rasulullah, keutamaan munajat (doa), tentang kabar ghaib dari ayat al-Quran, Minhaj As-Sunnah, Ma’rifat terhadap Allah dan Rasulullah, pembahasan tentang Akhlak, dan lain-lainnya.
Penulisan Risale-i Nur
Risale-i Nur dan penerbitannya merupakan sesuatu yang sangat istimewa dalam sejarah dakwah Islam modern. Hal ini berdasarkan asumsi, bahwa risalah Said Nursi tidak banyak yang ditulis secara langsung oleh dirinya, karena dalam keterampilan menulis ia adalah seorang yang boleh disebut ‘setengah ummi’. Oleh karena itu, kebanyakan dari risalah-risalah ia selalu didiktekan kepada sebagian para muridnya. Kemudian naskah asli dari risalah-risalah tersebut beredar dan tersimpan di antara mereka yang selama ini bertugas menyalin dan mencatatnya. Selanjutnya seluruh naskah tersebut diserahkan kepadanya untuk dikoreksi ulang satu persatu. Dari seluruh risalah karyanya ini ia hanya menjadikan al-Quran sebagai satu-satunya sumber rujukan. Semua ini terjadi berkat rahmat yang dilimpahkan Allah kepadanya, yakni bahwa ia diberi anugrah berupa daya ingat yang luar biasa dan daya hafal yang sangat mengagumkan. Dengan demikian, saat-saat menyusun risalah-risalahnya ia hanya bersandar pada Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama yang pernah dibaca pada awal masa kehidupannya yang tersimpan dalam ingatannya.
Oleh karena itu banyak pelajar atau muridnya yang berdatangan kepadanya, baik siang maupun malam dan ia tidak pernah meninggalkan satu keistimewaan rabbani yang terdapat hatinya atau satu buah pikiran pun yang melainkan ia berikan kepada murid-muridnya dan mengharapkan dapat menerimanya. Kesemua itu adalah karena ia telah menulisnya sendiri sebagian dari risalah-risalahnya, terlebih-terlebih lagi ketika ia masih berada dalam penjara (Salih, 2003, hlm. 131).
Risale-i Nur dan Kandungannya
Sesungguhnya Said Nursi dalam suatu pernyataannya tentang Risalah, berkata:
Sesungguhnya Risalah Nur adalah satu dalil yang berkemilau bagi Al-Qur’an, juga sebagai tafsir yang berharga, dia juga merupakan sinar yang cemerlang dari kecemerlangan Al-Qur’an, juga tetesan air dari lautan, dia sebagai pantulan cahaya matahari serta satu kebenaran yang dipancarkan dari tumpukan ilmu haqiqah dan menerapkan pula terjemahan maknawi yang memencar dan melimpah.
Apabila ada yang mengatakan: mengapa kitab Risalah Nur dikategorikan sebagai tafsir Al-Qur’an, sedangkan dia tidak menyerupai dengan kitab-kitab tafsir?
Jawabannya ialah tafsir itu ada dua macam:
Pertama: tafsir yang sudah populer yang isinya menerangkan, menguraikan, dan menguatkan arti dan perumpamaan Al-Qur’anul Karim termasuk pula jumlahnya dan kalimat-kalimatnya.
Kedua: tafsir yang merupakan penjelasan, keterangan, ketetapan tentang keimanan yang hakiki terhadap Al-Qur’anul Karim. Yaitu yang dibuktikan dengan dalil-dalil yang nyata dan hujjah yang konkrit. Macam yang kedua ini mempunyai arti yang sangat penting.
Adapun tentang kitab-kitab tafsir yang sudah populer itu ada juga yang mencakup tentang kategori dari macam yang kedua yang kadang-kadang dalam bentuk global. Dan bagi Rasail an-Nur memilih konsep ini sebagai bentuk tafsir maknawi bagi Al-Qur’an di mana ia mengesampingkan pendapat para filosof dan bahkan membungkam mereka (Salih 2003, hlm. 140-141).
Pengarang selalu mengulang-ulang tentang arti ini ke dalam ingatan, yaitu bahwa Risalah Nur merupakan tafsir bagi makna yang termaktub dalam Al-Qur’an seraya berkata:
Sesungguhnya kitab Risalah Nur itu bukanlah bagian dari tarekat ahli sufi, tetapi ia adalah bagian dari ilmu hakikat, dia adalah sinar yang memancar dari ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak diadopsi dari ilmu-ilmu ketimuran atau pula dari kesenian barat. Dia tidak lain merupakan mukjizat dari kandungan Al-Qur’anul Karim yang khusus untuk masa kini.
Dia adalah tafsir yang sangat berbeda dengan tafsir-tafsir yang lain di mana kitab-kitab tafsir itu hanya berlaku pada masanya. Tidak diragukan bahwa tafsir yang dikarang pada masa lalu di tengah masyarakat Islam adalah tidak sama dengan tafsir-tafsir yang dikarang pada masa kini yang berupaya untuk membantah upaya-upaya sesat yang menyerang umat Islam. Maka tafsir-tafsir tadi hanya membicarakan orang mukmin.
Dari urian di atas dapat disimpulkan bahwa Risalah Nur adalah kitab tafsir maani (maknawi) bagian al-Qur’an yang mengungkap tentang persoalan-persoalan yang mendasar dalam kehidupan seseorang, disana terdapat di dalamnya gambaran-gambaran yang menyesatkan dan moral yang merusak. Dia mengungkap tentang arti tauhid dengan dalil-dalil yang beragam dan tentang hakikat akhirat, kebenaran kenabian, keadilan syariat dan lain-lainnya yang terkandung dalam al-Qur’an.
Dan berkenaan dengan pembahasan tentang dakwah kepada Allah dan mencintai Rasulullah saw. Tentang rindu kepada akhirat juga tentang urusan-urusan kemasyarakatan dan politik yang beraneka ragam. Dalam hal ini Ustadz berkata:
Sesungguhnya kitab Risalah Nur mencakup lebih dari 100 rahasia-rahasia agama, syariat dan al-Qur’an Karim. Kemudian diuraikan dan dijabarkan dengan luas sekaligus membantah pendapat orang-orang kafir dengan mengagungkan dalil-dalilnya, maka jadilah ia seumpama matahari yang bersinar dan sulit dijangkau akal pikiran seperti kebenaran peristiwa Isra’ dan Mi’raj dan hari kebangkitan manusia menurut paham para pembangkang dari kelompok filsof dan zindiq (anti Tuhan). Adapun menurut kitab Risalah Nur bahwasanya alam dan sekitarnya adalah mempunyai keterkaitan satu dan lainnya dan tidak boleh tidak bahwasanya dialah kebenaran tentang Al-Qr’an yang dibutuhkan untuk masa kini dan masa yang akan datang. Dan menjadi pusat perhatian bahkan dia merupakan pedang yang dapat menyentuh hati orang-orang yang beriman (Salih 2003, hal. 141-143).
Perjuangan dan Pengaruh Said Nursi
Menurut Salih (2003, hlm. 90-91) kehidupan Said Nursi dapat dilihat dalam dua periode. Periode pertama adalah Said Qadim (Said Lama). Periode ini mulai dari kelahirannya berlangsung sampai ia diasingkan ke Barla (nama sebuah desa di Turki Barat) pada tahun 1926 dan Nursi sendiri menamainya sebagai Said Qadim. Periode kedua adalah Said Jadid (Said Baru). Periode ini berlangsung sejak ia memulai kehidupannya di Barla pada tahun 1926 sampai ia wafat pada tahun 1960. Di samping itu, ada juga periodesasi dari Sukran Vahide (2003, hlm. 1) bahwa ia sepakat dengan periodesasi di atas, tetapi ia menambah periode Third Said (1950-1960). Menurutnya, periode ini lanjutan dari periode Said Jadid, tetapi Nursi mempunyai karakter-karakter dari Said Qadim pada periode ini yang bertetapan dengan era pemerintahan Partai Demokrat.
Davutoglu (1994, hal.12) berkomentar mengenai pembagian riwayat hidup Said Nursi sebagai Said Qadim dan Said Jadid bahwa Said Nursi sebagai Said Qadim telah aktif di dunia politik dan berusaha membawa reformasi politik yang diperlukan oleh umat Islam. Pada periode kedua sebagai Said Jadid, ia berusaha memperbaharui iman individu muslim dan membentuk komunitas Islami dari individu tersebut untuk membangun kembali struktur politik dunia Islam yang memasuki periode stagnasi politik secara keseluruhan. Usaha ini bisa dipahami sebagai pilihan individu muslim yang membangun “Madinah Baru” untuk menghidupkan kembali iman dan spirit Makkah, daripada personel kolektif yang kehilangan Madinahnya dalam makna otoritas kebebasan politik menggelepar dalam dunia politik “Madinah Palsu”.
Dengan demikian, pelepasan Said Jadid dari politik tidak bisa dipahami seperti pendekatan Ali Abdul Raziq yang memisahkan agama Islam dengan urusan politik. Dalam hal ini, Nursi berbeda pendapat baik dengan pendapat Ali Abdur Raziq yang mempersempit ruang lingkup agama , maupun Rashid Ridha yang mencari solusi pada pembaharuan institusional. Walaupun ia mendekati pendapat Iqbal dalam beberapa hal, dia berbeda dengan Iqbal dalam menekankan upaya menghidupkan kembali iman individu. Ketika ideologi-ideologi berbasis filsafat mulai berpengaruh dengan cepat kepada sistem politik, penekanan Nursi untuk menjaga keimanan individu menunjukkan pendapatnya bahwa solusi utama, yaitu menjadikan setiap individu muslim adalah titik Barlawanan terhadap ekspansi yang bersandar pada ideologi Barat dengan menjaga keimanan individu daripada pembaharuan struktural. Pendekatan seperti ini, sesuai dengan situasi umum umat Islam pada waktu itu.
Periode Said Qadim
Masa kecil dan pengalaman pendidikannya termasuk dalam periode ini. Selanjutnya, Nursi berangkat ke Istanbul pada tahun 1907 M. untuk mewujudkan cita-citanya, yaitu mendirikan sebuah madrasah yang ilmu agama dan ilmu sains diajarkan secara bersama. Di sana ia tinggal di Hotel Sekerci yang terletak di wilayah Fatih. Tercatat, bahwa hotel ini merupakan tempat tinggal sejumlah para pemikir dan pujangga, seperti penyair kenamaan yang bernama Muhammad ‘Akif dan kepala intelejen yang bernama Fatih, juga seorang guru bahasa kenamaan yang bernama Jalal dan lain-lain.
Selama berada di ibu kota Istanbul ia telah menggantungkan sebuah papan di depan pintu kamarnya yang bertuliskan: “Gratis”!!! Di sini akan terjawab setiap pertanyaan dan setiap problema pasti akan terpecahkan”. Ini merupakan pernyataan asing dan menarik perhatian yang membuat popularitas Bediuzzaman semakin luas yang sebelumnya juga sudah terkenal di ibu kota Istanbul dan membuat orang-orang ingin melihatnya secara langsung (Salih 2003, hlm. 15-16)
Di ibu kota Istanbul Said Nursi menyampaikan usulan kepada Sultan Abdul Hamid agar didirikan sebuah madrasah bernama Madrasah Az-Zahrah yang ilmu agama dan ilmu sains diajarkan secara bersama di Turki Timur. Usulan ini disampaikan, karena penduduknya sangat didominasi oleh kebodohan dan kemiskinan, juga sangat dicekam oleh kediktatoran, sistem keamanan, dan para intel dari kalangan Istana Yildiz. Tetapi usulan ini hanya membuat orang-orang dekat Sultan yang hakikatnya tidak mencerminkan pemikiran Sultan membawa ia ke beberapa dokter untuk diperiksa dan diteliti daya nalar otaknya. Kemudian para dokter berketetapan untuk menempatkannya di RS Jiwa Topbasyi.
Ketika salah seorang dokter hadir untuk memeriksa daya nalar otak Said Nursi, kepada dokter ini ia menyampaikan apa yang terlintas dalam benak sang dokter. Kejadian ini telah mendorongnya mebuat keterangan: “Jika memang terdapat sedikit saja kegilaan pada Said Nursi, ini artinya bahwa di seluruh muka planet bumi ini tidak seorang pun ada yang berakal sehat” (Salih 2003, hlm. 17-18)
Kemudian Said Nursi berangkat menuju Salonika dan di sana ia berkenalan dengan para tokoh al–Ittihad Wa at–Taaraqqi (Kelompok Persatuan dan Kemajuan). Langkah ini ditempuh, dengan pertimbangan karena dirinya juga sebagai seorang yang menyarakan dan menyerukan kebebasan dan prinsip musyawarah secara Islami. Di sana ia mendapat sambutan hangat dari para pemimpin al-Ittihad Wa at-Taraqi. Namun demikian, mereka tidak berhasil mengajaknya untuk menjadi pengikut mereka. Kasus ini terjadi, karena ia tetap pada prinsip pemikiran dan kepribadiannya. Kemudian saat dirasakan bahwa sebagian di antara mereka ada yang goyah pendiriannya dan bersikap memusuhi agama (Islam), ia pun berkata: “Kalian ternyata memusuhi agama dan berpaling dari syari’at” (Salih 2003, hlm. 19-20).
Ketika Konstitusu kedua diundangkan* dalam sistem pemerintahan Turki Utsmani (23 Juli 1908), perhatian iapun lebih difokuskan pada kegiatan orasi dan menulis makalah-makalah sebagai media untuk menjelaskan makna kebebasan dalam Islam dan pengaruh Islam dalam kehidupan politik, juga tuntunan agar Syari’at Islam diterapkan dan aktif memberi peringatan jangan sampai menyalahgunakan makna kebebasan.
Komunitas Persatuan Ummah (Ittihad-i Muhammadi) telah didirikan pada 5 Februari 1909. Acara pembukaan resmi dilaksanakan dalam bentuk mevlid** dan bertepatan dengan tanggal kelahiran Nabi SAW. Nursi ikut serta dalam pelaksanaan mevlid yaitu memberikan khutbah selama dua jam. Didalam khutbahnya, ia menerangkan tema-tema terkait dengan politik, sosial dan agama. Media komunitas ini adalah koran Volkan. Nursi sering menulis makalah di dalam koran tersebut. Di samping itu, Nursi juga menulis berbagai tulisan di koran-koran lain seperti Tanin, Ikdam, Serbesti, Mizan, Misbah (Vahide 2000, hal. 74-78).
Pada tanggal 13 April 1909 (31 Maret 1325) pecah pemberontakan 31 Maret. Peristiwa ini berlaku atas beberapa sebab yang saling kait mengaitkan antara satu sama lain. Antaranya, kekhawatiran masyarakat Islam terhadap tindakan pemerintah yang jelas membelakangkan agama dan hubungan rapat mereka dengan golongan Yahudi. Pemerintah sendiri dilihat terlibat dalam kes pembunuhan Hasan Fahmi Bey (pemilik akhbar Surbasti) dan Mahir Basha. Pada masa yang sama, heboh pula berita yang mengatakan pihak pemerintah akan memecat pegawai-pegawai tentara yang bukannya dari Maktab Tentara. Berita tentang penjualan Bosnia, Herzegovina dan Semenanjung Crete Balkan juga telah menimbulkan kemarahan rakyat.
Dalam suasana tegang beginilah, peristiwa yang menyedihkan itu terjadi. Pada 13 April 1909, tentara-tentara di Istanbul yang disertai oleh gerakan al-Ittihad al-Muhammadi telah mengurung pegawai-pegawai mereka (Lepasan Maktab Tentara). Sebagian dari penunjuk perasaan ini bergerak ke Beshiktash dan Sultan Ahmad sambil melaung-laungkan “Kami inginkan Syari’at”. Kumpulan pelajar-pelajar Tarekat, pegawai-pegawai kerajaan dan penyokong parti-parti pembangkan yang lain (selain Parti al-Ittihad al-Muhammadi).
Pemberontakan tersebut dengan mudah dapat dipatahkan oleh Hareket Urdusu (Tentara Bertindak) yang dibentuk di Salanika di bawah pimpinan Mahmud Shawkat Pasya pada 24 April 1909. Akhirnya Undang-undang Tentara pun diisytiharkan di Istanbul. Parti-parti pembangkan dan akhbar-akhbar mereka telah ditutup. Pada 27 April 1909, Sultan Abd al-Hamid yang tidak terlibat langsung dalam kejadian itu telah digulingkan. Darswih Wihdati dan beberapa orang pengikutnya telah dijatuhkan hukuman gantung.
Nursi turut sama ditahan walapun jelas ia tidak terlibat dalam kejadian tersebut. Ia sebagaimana dalam Revolusi 1908, juga menolak tindakan para penunjuk rasa yang dilihatya telah melakukan suatu tindakan yang tidak wajar. Oleh karena itu, ia telah mencoba mententramkan keadaan dengan menasihatkan para tentara yang merusuh agar kembali ke kem dan mematuhi arahan pegawai-pegawai mereka. Jelasnya, penahanan ini dibuat atas tuduhan keterlibatan ia dalam menulis artikel-artikel yang dianggap bersifat menentang kerajaan (Zaidin 2001, hlm. 40-41).
Sesudah dinyatakan bebas oleh pengadilan, Bediuzzaman Said Nursi segera meninggalkan ibu kota Istanbul menuju kota Wan (1910 M). Kemudian di sana memulai aktivitasnya mengajar dan memberi kuliah, juga berkeliling di kalangan masyarakat untuk mengajarkan urusan agama dan membimbing mereka pada kebenaran. Selama di kota Wan ia pun berhasil menyusun bukunya, al-Munazharat yang dicetak dan diterbitkan di Istanbul pada tahun 1913 M.
Pada musim dingin tahuun 1911 M./ 1327 H. ia mengadakan kunjungan ke Syam yang kebetulan saudara perempuannya tinggal di sana. Selama di sana ia berkesempatan untuk menyampaikan khutbah dengan bahasa Arab di Masjid Raya Amawi Damaskus. Isi dari pidatonya ini berupa seruan kepada para ulama sedang jamaah shalat yang cukup banyak. Pidato ini kemudian dicetak dan diterbitkan dengan judul al-Khuthbah asy-Syamiyah, sebuah kumpulan pidato yang berisi penyakit yang melanda umat Islam dan pengobatannya.
Dari Damaskus, selanjutnya ia berangkat menuju Beirut dan dilajutkan lagi ke ibu kota Istanbul melalui jalan laut untuk berupaya sekali lagi mewujudkan cita-citanya, mendirikan Madrasah az-Zahra’ temuan pun berlangsung dalam suatu perjalanan wisata yang dilakukan sultan ke Rum Eli. Dalam pertemuan ini ia memperoleh janji dari sultan dan organisasi al-Ittihad Wa at-Taraqi bahwa di wilayah timur akan dibuka madrasah tersebut. Hanya saja Perang Dunia I telah membuat rencana ini menemui jalan buntu (Salih 2003, hlm. 26-27).
Pada tahun 1915 M, Said dikirim oleh Turki Muda ke Tripoli dengan menggunakan kapal, untuk membantu Sanusi mempertahankan wilayah itu dari pendudukan Italia. Pada bulan Agustus 1915 M, dia kembali lain ke Turki untuk melawan kaum militan di Anatolia bagian Timur. Kolaborasi antara militan Armenia dengan pasukan Rusia membuat pihak Said kalang kabut (Mardin 2002, hlm. 144).
Bediuzzaman adalah salah seorang pencinta perdamaian yang tulus dan yang menentang Turki Usmani terlibat Perang Dunia I. Hanya saja ketika perang ini meletus dan Turki Usmani pun terlibat, ia pun ternyata ikut memanggul senjata dan bergegas ke medan perang. Perang dahsyat dalam Perang Dunia I terjadi di front Kaukakus.Tercatat, bahwa Rusia berupaya menguasai Anatolia. Pada tanggal 16 februari 1916 M. pasukan tentara Rusia yang terdiri dari tiga kali lipat jumlah pasukan tentara Turki Usmani berhasil memasuki kota Erzurum.
Dalam pertempuran ini Said Nursi bersama para muridnya dengan segala daya yang dimiliki turut serta menghadapi tentara Rusia. Kemudian selama terlibat dalam pertempuran tersebut ia pun berhasil menyusun tafsirnya yang sangat berharga, Isyarat al-I’jaz Fi Mazhan al-Ijaz, dalam bahasa Arab. Penyusunan tafsir ini dikerjakan dengan cara didiktekan kepada seorang muridnya yang bernama Habib. Ketika pasukan tentara Rusia memasuki kota Bitlis, ia bersama para muridnya berjuang untuk mempertahankannya dengan semangat pantang menyerah. Mereka bertempur mati-matian di seluruh sektor kota, di jalan-jalan utama sampai di gang-gang sempit. Namun karena selisih kekuatan yang teramat jauh, akhirnya pasukan tentara Said Nursi yang hanya sedikit berhasil dikalahkan oleh pasukan tentara Rusia jauh lebih banyak jumlahnya.
Selama dalam pertempuran ini Said Nursi menderita luka parah dan ia bersama salah seorang muridnya jatuh ke dalam sungai yang berair dari atas sebuah jembatan. Tiga puluh jam lamanya ia terendam air, tidak bisa keluar dari sana, karena cucuran darah dari lukanya yang tidak terhenti. Ketika muridnya melihat bahwa darah terus mengalir dari luka yang dideritanya dan cuaca yang amat dingin bisa jadi akan mengantarkan ia kepada kematian, ia terpaksa mengabarkan keadaan gurunya itu kepada tentara Rusia. Said Nursi pun tertangkap oleh pasukan tentara Rusia dan dibawa ke salah satu sebuah markas tawanan militer di Qosturma yang terletak di Timur Rusia ( Salih 2003, hlm. 27-29).
Setelah Said Nursi berada di pengasingan sebagai tawanan perang selama dua tahun empat bulan empat hari, ia pun berhasil melarikan diri dari sana. Peristiwa ini terjadi setelah meletus Revolusi Bolsyevik dan berbagai kerusuhan yang timbul karenanya. Dari pelarian tersebut ia berhasil tiba di Jerman dengan selamat dan kedatangannya di sana telah disambut dengan meriah. Kemudian dari Jerman ia menuju Istanbul (Salih 2003, hlm. 32).
Setelah ia pulang ke Istanbul, Nursi diangkat menjadi anggota Darul Hikmah al-Islamiyah tanpa sepengetahuannya sebagai penghargaan baginya (13 Agustus 1918 M). Tercatat bahwa para anggota Darul Hikmah ini hanya merupakan ulama terkemuka saja. Ketika itu para anggotanya terdiri dari: Muhammad ‘Akif (penyair kondang), Ismail Hakki (seorang ulama kenamaan), Hamdi Almalali (mufassir terkenal), Mustafa Shabri (syaikul Islam), Sa’duddin Pasya, dan lain-lain.
Pada periode ini pemerintah telah menganggarkan gaji untuknya. Tetapi ia hanya mengambil sekedar untuk memenuhi hajat hidup pokok saja. Sedangkan sisanya dibelanjakan untuk biaya mencetak sebagian dari karya ilmiahnya yang dihimpun dalam Risalah Nur yang kemudian dibagikan secara cuma-cuma kepada kaum muslimin (Salih 2003, hal. 34-36). Ketika Ia berada di lembaga tersebut, ia pernah mengalami transformasi spiritual sebagai berikut:
Sadar diriku berada di dalam ‘rawa’ aku mencari bantuan, mencari jalan keluar dan panduan. Aku melihat ada berbagai jalan, dan saat ragu jalan mana yang harus ikuti, aku mencari penjelasan pada kitab Futuh al-Gaib, tulisan Syaih Abdul Qadir Jailani. Muncul kalimat berikut di hadapanku: Kamu berada di Darul Hikam (Rumah Kebijaksanaan); mencari dokter (rohani) yang akan menyembuhkan hatimu. Anehnya, aku memang anggota Darul Hikam (lembaga para ilmuwan tersebut). Aku dianggap sebagai ‘dokter’, seorang pembimbing rohani, yang diharapkan bisa menyembuhkan penyakit-penyakit rohani umat Islam; sementara sayalah yang secara rohani sakit lebih parah daripada yang lain, dan aku harus mengobati diriku sendiri sebagai pasien. Setelah itu, aku membaca kitab Maktubat (Surat-surat) karya Imam Rabbani, dan mempelajarinya dengan niat yang suci. Imam Rabbani juga dengan tandas memberikan nasihatnya dibanyak surat yang lain, ‘Menyatukan arah yang akan engkau tuju,’ yakni ‘ambil satu saja pemimpin atau satu jalan ke arah kebenaran.’ Tetapi, nasihat ia yang paling penting ini tidak sesuai dengan watak dan perangaiku. Kadang-kadang pikiranku tidak bisa memutuskan mana yang harus diikuti. Karena setiap jalan memiliki daya tarik sendiri-sendiri, maka sulit bagiku untuk menyenangi salah satu jalan dan mengikutinya. Saat aku dalam kebingungan, dengan Kasih Sayang Allah SWT aku menjadi tahu bahwa ujung semua jalan tersebut, sumber dari semua saluran tersebut, ‘matahari yang dikelilingi oleh semua ‘planet’ tersebut, tak lain adalah al-Qur’an yang penuh hikmah, yang bisa menyatukan semua arah” (Nursi 2003, hlm. 487-488).
Transformasi spiritual inilah yang menjadi penyebab perubahan Said Qadim ke Said Jadid. Pada masa ketika Inggris berhasil menduduki Istanbul (16 Maret 1920), Bediuzzaman berhasil menyelesaikan buku karangannya yang berjudul al-Khuthuwat as-Sitta (Enam Langkah ) yang diterbitkan secara sembunyi-sembunyi dengan bantuan para murid dan teman-temannya… Buku ini berisi serangan Bediuzzaman kepada Inggris yang disampaikan dengan nada keras dan berupa klarifikasi tentang berbagai syubhat yang menjadi buah bibir masyarakat luas dengan disertai sejumlah dalil argumetatif. Buku tersebut juga berisi ajakan kaum muslimin tetap optimis dan memerangi sikap pesimis yang selama ini tampaknya menguasai masyarakat, serta berisi seruan agar mereka berbakal tekad kuat.
Di antara serentakan rencana jahat yang dilakukan Inggris terhadap Islam melalui gereja Anglikan adalah enam pertanyaan yang disampaikan kepada para ulama Islam agar dijawab dengan enam ratus kata. Kemudian pertanyaan ini oleh para ulama disampaikan kepada Bediuzzaman dan dijawab: “Sesunguhnya jawaban enam pertanyaan ini tidak harus denggan enam ratus kata dan tidak pula dengan enam kata…, juga tidak harus dengan satu kata…,melainkan cukup dengan ludah yang disemburkan kepada muka orang-orang Inggris terkutuk.” (Salih 2003, hlm. 39-40).
Gerakan anti pendudukan asing di Anatolia mulai beraksi. Syaikhul Islam Abdullah Afandi pun di bawah tekanan pemerintahan kolonial Inggris mengeluarkan fatwa menentang gerakan dan para pelaku aksi ini. Tetapi segera fatwa ini dibantah lagi dan dinyatakan batal oleh fatwa yang dikeluarkan oleh tujuh puluh enam ulama bersama tiga puluh enam ilmuwan dan sebelas anggota DPR (anggota parlemen). Tercatat, Bediuzzaman dalam kasus ni termasuk salah seorang di antara para ulama dan ia ketika itu berkata: “Fatwa yang dikeluarkan oleh mufti dan pemerintah di bawah tekanan Inggris, juga para kaki tangannya tentu saja batal dan tidak boleh diikuti. Sebab, orang-orang yang melakukan aksi Barlawanan terhadap musuh dan pemerintahannya tidak mungkin dianggap sebagai orang-orang durhaka. Dengan demikiaan, fatwa seperti ini wajib diralat”.
Nursi berulang kali diundang ke Ankara oleh Mustafa Kamal, sehingga ia berangkat juga ke sana pada tahun 1922, sebelum Hari Raya Qurban tahun itu, dan kedatangannya ini telah disambut dengan meriah. Sayangnya ia tidak betah di Ankara karena melihat kebanyakan di antara para anggota dewan tidak aktif shalat, sebagaimana perilaku Mustafa Kamal pun tampak berlawanan dengan Islam suatu hal yang membuat ia sangat sedih. Dengan demikian, ia berketetapan utuk mencetak pernyataan pada tanggal 19/1/1923 M. yang membuat sepuluh materi yang dialamatkan kepada para anggota dewan, sebagai nasihat dan peringatan Islami.
Kemudian pernyataan ini dibagikan kepada para anggota dewan yang dipimpin oleh Jenderal Kazhim Qurah Bakar (Panglima Besar Gerakan Kemerdekaan). Buah dari langkah tersebut telah berhasil menyadarkan kira-kira enam puluh di antara mereka menjadi orang-orang taat beragama dan aktif menjalankan shalat, sehingga masjid yang ada di sana tidak mampu menampung jamaah dan akhirnya dipindahkan ke ruangan yang lebih besar.
Mustafa Kamal rupanya tidak senang dengan pernyataan ini dan oleh karena itu dia memanggil Bediuzzaman. Kemudian, terjadilah pembicaraan seru di antara keduanya. Di antara kata-kata yang disampaikan oleh Mustafa Kamal saat itu: “Sejujurnya, bahwa kami sangat membutuhkan orang seperti Anda. Untuk itu kami sengaja mengundang Anda ke sini agar kami bisa mengambil manfaat dari pendapat-pendapat Anda yang berharga. Tetapi langkah pertama yang Anda sampaikan kepada kami urusan shalat yang membuat di antara sesama anggota majelis di sini terpecah”.
Seraya memberi isyarat dengan telunjuknya, Bediuzzaman menjawab pernyataan Mustafa Kamal: “Pasya…Pasya… Sesungguhnya hakikat yang paling menonjol sesudah iman adalah shalat. Sesungguhnya orang yang tidak menjalankan shalat adalah pengkhianat, sedangkan kepemimpinan seorang pengkhianaat di mata hukum adalah tidak diterima….”.
Mendengar jawaban ini Mustafa Kamal berpikir hendak menjauhkannya dari Ankara. Untuk itu, ia ditawari jabatan sebagai penasihat umum wilayah timur dengan gaji yang menggiurkan. Tetapi Said Nursi menolak tawaran ini (Salih 2003, hlm. 41-43).
Setelah merasakan adanya niat buruk yang dialamatkan kepada Islam dari sejumlah pihak pemerintah di Ankara, maka Said Nursi pun pergi meninggalkan kota ini. Ia pergi dari sana dengan hati yang sedih dan membuat dirinya banyak melakukan tahajjud, ibadah, dan pengaduan kepada Allah atas keadaan yang terjadi menimpa kaum mulimin. Ia pergi menuju kota Wan dan tinggal di sebuah rumah kumuh yan tidak berpenghuni yang terletak di gunung Ark. Di sanlah untuk sekian lama waktunya dihabiskan dengan mengasingkan diri dari keramaian. Di sanalah ia i’tikaf dan mengheningkan cipta, seolah-olah bahwa Allah sedang mempersiapkan dirinya untuk tampil menghadapi tugas berat dan bahaya yang hendak menghancurkan Islam ( Salih 2003, hlm. 43-45).
Periode Said Jadid
Dengan adanya perubahan dari Said Qadim ke Said Jadid, Cihangir (2004, hlm.36) berkesimpulan bahwa pada periode Said Jadid, ketika Nursi menjauhkan diri dari politik, ia menjelaskan pentingnya penyampian hakikat al-Qur’an kepada manusia. Nursi yang mangatakan bahwa manusia memerlukan bimbingan sosial dari agama mengemukakan bahwa bisa saja hakikat-hakikat al-Qur’an menjadi alat, ketika politik lebih dikedepankan daripada agama. Fakta ini bisa menyebabkan kesalahpahaman seperti mengharapkan menjadi pemerintah dengan menggunakan prestij agama di sisi masyarakat. Alternatif lain dari jalan ini adalah hakikat-hakikat al-Qur’an tidak dijadikan untuk kepentingan kekuasaan dan kelompok politik. Hakikat al-Qur’an mempunyai kedudukan di atas segala politik. Maka, Nursi yang menyebutkan bahwa tujuan utamannya adalah penyampaian hakikat al-Qur’an kepada manusia, memilih jalan dakwahnya tanpa politik. Karena tujuannya bukan menjadi penguasa, melainkan menyampaikan hakikat al-Qur’an kepada semua manusia.
Meletusnya pemberontakan di wilayah Timur Turki di bawah pimpinan Syaikh Sa’id Chiran, seorang pemimpin Thariqah Naqsyabandiah dan pemimpin terkemuka suku Kurdi. Revolusi ini dialamatkan kepada pemerintahan sebagai bentuk Barlawanan terhadap politiknya yang memusuhi Islam dann membuat rakyat mengadakan perhitungan dengannya.
Sebelum revolusi meletus Syaikh Sa’id Chiran terlebih dahulu berkirim surat kepada Said Nursi yang berisi permohonan agar ia mau bergabung dengannya untuk melakukan Barlawanan terhadap pemerinahan Ankara. Tetapi permintaan ini ditolak dengan alasan, karena ia tidak mau darah kaum muslimin yang tidak berdosa tertumpah dalam sebuah gerakan tanpa harapan di dalamnya.
Pelacakan ke gunung tempat Said Nursi memusatkan diri untuk beribadah pun dilakukan, sehingga ia ditangkap dan dibawa ke Istanbul. Selama dua puluh hari berada di Istanbul ia terus berada dalam pengawasan. Setelah itu, turunlah surat perintah untuk memindahkan ke kota Burdur. Selama menjalani penahanan di kota ini, aktivitas ia hanya terfokus untuk ibadah dan menyusun risalah al-Madkhal ila an-Nur, yang berisi pelajaran Qu’an. Karya ini merupakan manuskrip dan di kemudian hari banyak dibaca oleh para murid dan para pecintanya. Tujuh bulan setelah itu, ia dipindahkan ke Isparta yang hanya dijalani beberapa bulan saja. Said Nursi tidak dibiarkan berada di Isparta berlama-lama, di mana surat perintah pemindahan segera turun. Kali ini ia dibuang ke wilayah Barla yang kumuh (Salih 2003, hlm. 45-48).
Ia sampai di pembuangannya, Barla, pada musim digin tahun 1926 M. Barla adalah sebuah daerah yang terletak di Isparta di wilayah barat Anatolia. Malam pertama dilalui di pos polisi dan selanjutnya di rumah khusus yang terdiri dari dua kamar, rumah kecil, yang menghadap ke arah Barla dengan kebunnya yang mejorok ke Danau Egridir yang berair tawar.
Namun kehendak Allah berketetapan lain. Ternyata Dia berkehendak agar desa kecil ini menjadi sumber pancaran Islam yang dikemudian hari menerangi seluruh penjuru Turki. Pusat sinar ini bersumber dari sebuah rumah kecil yang di depannya terdapat parit yang selalu diliri air sepanjang tahun, baik pada musim dingin maupun pada musim panas, sebagaimana di depan rumah in pun terdapat pohon dulb besar yang rindang, tempat ribuan burung bersarang pada musim semi dan musim panas dengan kicauannya yang merdu.
Salah seorang tukang kayu telah membuat kamar kecil tidak beratap dari bahan kayu dan terletak di antara dahan-dahan pohon tersebut. Sebagian besar hidup Said Nursi pada musim semi dan musim panas dihabiskan di kamar ini untuk ibadah kepada Allah, tafakkur, dan menyusun Risalah Nur. Demikianlah umumnya aktivitas ia di setiap malam sampai fajar menyingsing. Penduduk Barla tidak tahu, kapan ia tidur dan kapan ia bangun? Setiap orang yang lewat di dekat pohon itu di waktu malam selalu mendengar suara lirihnya yang sedang ibadah. Tercatat, bahwa Said Nursi menjalani hidup di desa dan rumah kecil ini selama delapan tahun setengah. Selama itu ia berhasil menyusun sebagian besar Risalah Nur, sehingga rumah tersebut dianggap sebagai Madrasah Nuriah Pertama (Salih 2003, hlm. 50-53).
Halaqah pengajiannya tumbuh dan berkembang. Sementara itu, para muridnya pun aktif mempelajari Risalah Nur dan menyalin serta menyebarluaskannya ke seluruh penjuru Turki, tanpa menghiraukan konsekuensi hukum dari langkah yang ditempuh. Pada periode inilah dasar-dasar ajaran Islam dihadapan pada pengingkaran dari pihak generasi muda yang tidak mendapat bimbingan agama sebagiaman lazimnya. Menyaksikan situasi segawat ini, Said Nursi berketetapan hati untuk memikul beban dakwah seberat apa pun. Ia bangkit untuk menyelamatkan iman di kalangan masyarakat Turki.
Menyelamatkan iman…Inilah tugas pokok dan utama yang tidak boleh ditempuh dengan sikap tergesa-gesa dan emosi yang tidak terkendali, namun tidak boleh pula dinomor duakan. Berdasarkan pandangannya tersebut, langkah yang ditempuhnya adalah meluruskan penilaian para pengunjungnya yang memandang bahwa dia seorang syaikh thariqah sufis. Dalam hal ini ia berkata kepada mereka: “Aku bukan seorang syeikh thariqah dan saat ini bukan waktunya untuk mengikuti tata cara seperti yang diajarkan para syaikh thariqqah sufi. Saat ini tidak lain merupakan waktu untuk menyelamatkan iman”.
Kaum wanita dalam misi ini sungguh besar sekali andilnya. Para pemudi yang menulis dan menyalin, mereka aktif memanfaatkan keahliannya dengan cara mendiskusikan dan menerangkan kandungan Rasail an-Nur. Lebih dari itu, sampai sebagian di antara mereka ada yang datang menemui Said Nursi untuk bertanya: “Wahai Tuan Guru, kami sebagai upaya turut aktif dalam mengabdikan diri untuk misi Risalah Nur berketetapan untuk mengambil alih tugas suami kami sehari-hari agar mereka terfokus hanya untuk menulis Rasail an-Nur” (Salih 2003, hlm. 61-62).
Sesudah itu, pada tahun 1934 M., Said Nursi dipindahkan ke Isparta untuk beberapa bulan lamanya, di sana ia hanya terfokus dengan menyusun Risalah Nur, yakni risalah-risalah al-Iqtishad, al-Ikhlash, al-Hijab, al-Isyarrat ats-Tsalatsah, al-Mardha, dan asy-Syuyukh. Semua risalah ini merupakan kandungan dari kitab al-Lama’at di sana dengan seluruh kandungan kitab ini selesai disusun.
Di suatu hari pada bulan April 1935 M., saat hari masih pagi sekali, pihak militer menyerbu rumah Said Nursi. Kemudian ia ditangkap setelah seluruh sudut rumah sederhana ini digeledaah. Pada hari itu polisi pun menggeledah rumah kediaman seratus dua puluh murid Madrasah an-Nur yang tersebar di berbagai daerah. Mereka ditangkapi dan diborgol tangannya termasuk kedua tangan guru mereka, Said Nursi. Mereka seluruhnya digiring ke dalam sel rutan (rumah tahanan) kota Eskisyehir untuk menunggu proses pengadilan dengan dakwaan: “Telah membentuk organisasi bawah tanah yang menentang sistem pemerintahan yang sah dan berusaha merebutnya”.
Said Nursi ditempatkan di sel sendirian dengan sejumlah interogasi yang menyudutkan. Langkah ini sebagai upaya pihak berwajib agar mentalnya melemah. Tetapi Said Nursi tetap berlanjut dengan kegiatan menyusun Risalah Nur, sekalipun mendapat berbagai tekanan. Di dalam sel penjaara ini ia berhasil menyusun al-Lama’ah yang kedua puluh delapan, kedua puluh sembilan, dan ketiga puluh. Begitu juga, selama dalam sel rutan ini, ia juga sukses mengajak para nara pidana untuk bertaubat kepada Allah dan menjadi pengikut jalan yang lurus.
Pemeriksa sedikit pun tidak berhasil membuktikan bahwa ia bersama para muridnya terbukti melakukan apa yang dituduhkan di atas. Namun demikian, pengadilan tetap memvonis kurungan sebelas bulan kepadanya sebagai hukuman atas karyanya Risalah an-Hijab, yakni al-Lama’ah yang kedua puluh empat.
Said Nursi di depan pengadilan telah menyampaikan pembelaan yang sangat terkenal. Berikut ini akan dikutip sebagian dari padanya:
Bapak-bapak hakim yang terhormat:
Saya telah dihadapkan ke persidangan ini dengan tuduhan bahwa saya seorang yang telah menjadikan agama sebagai jalan untuk membuat kekacauan dan merusak keamanan umum. Pada kesempatan ini, izinkan saya untuk menyampaikan kepada Bapak-bapak sekalian:
Dampak suatu perbuatan tidak bisa dituduh sebagai faktor penyebab suatu kasus sampai terjadi dan tidak dapat dituduh sebagai biang keladinya. Memang, bisa jadi batang korek api dapat membakar rumah. Tetapi kemungkinan ini tidak berarti sebagai biang segala tindakan kriminal. Aktivitasku yang hanya terfokus menggeluti ilmu-ilmu keislaman hanya dijadikan sarana untuk memperoleh ridha Allah Ta’ala, jauh bumi dari langit untuk dipergunakan selain dari itu.
Bapak-bapak telah bertanya: Apakah saya termasuk orang-orang yang aktif dalam kegiatan seperti yang dilakukan para pengikut thariqah sufisme? Pertanyaan ini saya jawab: Sesungguhnya era kita sekarang dalah era memelihara iman bukan era mempertahankan thariqah sufisme. Kelak di akhirat pasti akan banyak yang masuk surga tanpa melalui thariqah sufisme. Tetapi seorang pun tidak akan ada yang masuk ke sana tanpa imam.
Bapak-bapak bertanya kepada saya: “Dari mana engkau memperoleh dana untuk menghimpun orang-orang untuk bergabung di dalam suatu organisasi?” Untuk pertanyaan ini, saya balik bertanya: “Dari mana mereka memperoleh dokumen yang membuktikan bahwa saya aktif dalam suatu orgnisasi atau bahwa aku aktif dalam suatu kegiatan yang membutuhkana dana”.
Bapak-bapak berkata: “Bahwa saya bukan pegawai dalam kegiatan yang saya lakukan. Sedagkan dunia pendidikan mempunyai organisasi khusus yang harus terlebih dahulu dahulu memperoleh izin operasi dari pemerintah”. Untuk pernyataan ini izinkan saya menyatakan sikap saya.
Andai seluruh pintu kuburan tertutup dan kematian ditiadakan, barulah izin pun hanya berada di tangan kekuasaan Bapak-bapak sekalian. Sedangkan pada saat tiga puluh ribu jenazah setiap harinya menyeru kematian dan telah divonis hukumannya, hal ini berarti bahwa di sana ada sejumlah tugas dan tanggung jawab lain yang lebih penting dari hanya sekedar apa yang berada dalam wilayah kekuasaan dan wewenang Bapak-bapak.” (Salih 2003, hlm. 65-67).
Setelah Bediuzzaman berada dalam sel tahanan rutan Eskisyehir selama sebelas bulan, kemudian pada musim semi tahun 1936 M. ia diasingkan ke kota Qasthumi. Pertama-tama ia dibawa ke kantor polisi. Untuk tiga bulan lamanya ia harus menjalani penahanan di sana. Baru setelah itu dipindahkan ke sebuah rumah kecil yang terletak tak langsung di depan kantor ini. Sengaja ia ditempatkan di sana agar selalu terkontrol. Tercatat, bahwa ia sendiri yang membayar uang sewa rumah ini.
Bediuzzaman berada di Kastamonu selama tujuh tahun. Selama itu ia terus berkarya dalam menulis Rasail an-Nur, seperti: Asy-Sya’a’ as-Sabi’ (Rislah al-Ayah al-Kubra), juga asy-Sya’a’ ats-Tsalis (Risalah al-Munajat), asy-Sya’a’ ar-Rabi’ ats-Tsamin, dan asy-Sya’a’ at-Tasi’, termasuk asy-Sya’a’ al-Khamis.
Pada periode ini, Bediuzzaman selalu berkoresponden dengan para muridnya dengan segala cara walau mata-mata setiap saat mengawasi gerak-geriknya. Surat-surat tersebut dikirimkan secara rahasia yang kemudian disalin dan disebarkan ke berbagai kampung, desa, dan kota-kota sekitar tempat ia menjalani penahan. Langkah ini telah membuahkan kumpulan surat-suratnya yang diberi judul Sa’adah Barid an-Nuri (Yang Terhormat Bapak Pos an-Nur) yang bertugas menginventarisir surat-surat yang dikirimkan ke berbagai kampung, desa, dan kota. Dengan kegiatan ini, aktivitas menyalin pun tumbuh dan berkembang. Di antara para murid yang aktif menyalin ini sampai ada yang berhasil menyalin lebih dari seribu surat. Langkah tersebut akhirnya membuahkan enam ratus ribu eksemplar manuskrip Risalah Nur (Salih 2003, hlm.68-70).
Pada tanggal 13 Agustus 1943 M. ketika Bediuzzaman sedang sakit demam berat, karena racun yang ditaruh pada makanannya berdasarkan perintah polisi rahasia ketika itu para polisi meggrebek dan menggeledah seluruh sudut ruangan rumah kediamannya. Tapi apa yang dicari tidak ditemukan, selain hanya sejumlah karya tulis tentang iman, alam akhirat, akhlak, dan sejenisnya. Pada tanggal 18 September tahun yang sama, sekali lagi para polisi penggrebekan dan penggeledahan rumahnya dengan harapan mudah-mudahan kali ini ditemukan alasan yang membenarkan dirinya diseret ke meja hijau. Tetapi kali ini pun mereka gagal tidak menemukan apa yang dicari, selain hanya buku-buku dan sejumlah makalah seperti yang mereka temukan sebelumnya. Namun, dia ditangkap dan dibawa ke Ankara bersama seratus dua puluh enam murid madrasah an-Nur yang ditangkap dari berbagai kota.
Tuduhan yang dialamatkan kepada Bediuzzaman dan para muridnya sama dengan tuduhan sebelumnya, yakni: Membentuk organisasi bawah tanah, menghasut rakyat agar memberontak kepada pemerintahan yang sekuler, melakukan upaya untuk meruntuhkan sistem pemerintahan, kemudian menghina Mustafa Kamal sebagai Dajjal dan Sufyani (Salih 2003, hlm. 74-75).
Dari Ankara Bediuzzaman dikirim ke Isparta. Kemudian dari sana ia dikirim ke Denizli untuk dimasukkan ke sel rutan Denizli. Ketika pemerintah membentuk panitia yang bertugas meneliti Risalah Nur barangkali kandungannya memuat aspek politik atau tuduhan-tuduhan yang sama ini dialamatkan kepada penulisnya, ketika itu Bediuzzaman menolak anggota panitia tersebut. Sebab, menurut penilaiannya mereka bukan ahli yang berhak untuk meneliti Risalah Nur dan karena itu hasil penelitian yang dikeluarkannya tidak sah.
Pemerintah menyetujui permintaannya. Dibentuklah panitia baru yang anggotanya terdiri dari para ulama dan para ahli yang bertugas meneliti seluruh kandungan Risalah Nur. Hasil penelitian yang mereka lakukan ternyata menegaskan, bahwa dalam Risalah Nur tidak ditemukan unsur apa pun yang mengharuskan Bediuzzaman didakwa dengan tuduhan-tuduhan yang selama ini dialamatkan kepadanya. Dalam keputusan yang mereka nyatakan ditegaskan: “Bediuzzaman bukan seorang yang melakukan aktifitas politik dan dia pun bukan seorang pendiri thariqah sufi atau seorang yang mendirikan organisasi apapun. Sebab, seluruh objek pembahasan yang dikemukakan Risalah Nur hanya berupa pembahsan-pembahsan ilmiah dan keimanan, sebagai tafsir Al-Qur’an…”
Bediuzzaman harus mendekam selama sembilan bulan di dalam sel rutan Denizli sendirian, walau para muridnya juga menjadi penghuni rutan. Tercatat dua orang di antara mereka sebagai murid kesayangannya wafat selama menjalani penahanan ini. Selama menjadi penghuni rutan Denizli, ia berhail menyusun Risalah ats-Tsamrah yang ditulis dalam kertas lalu dipotong kecil-kecil untuk dimasukkan ke dalam korek api. Kemudian secara sembunyi-sembunyi melalui jendela dilemparkan ke sel para muridnya untuk disalin (Salih 2003, hlm. 76-78).
Kemudian, pada tanggal 15/6/1944 dikeluarkan ketetapan pengadilan bahwa Said Nursi bebas dari segala dakwaan yang dituduhkan kepadanya, tetapi selama dua bulan ia terkurung di sebuah hotel. Sebab, untuk memperoleh kebebasan seperti yang telah ditetapkan oleh pengadilan di atas, pengadilan terlebih dahulu harus menunggu petunjuk dari pemerintah pusat Ankara.
Petunjuk ini baru diterima pada akhir bulan Agustus 1944 dan isi daripadanya mengharuskan ia diasingkan -sekalipun pengadilan menetapkan ia bebas dan begitu juga Risalah Nur karyanya pun dinyatakan tidak melawan hukum- ke Emirdag, salah sebuah daerah di wilayah Afyon.
Said Nursi dipaksa harus menempati sebuah rumah yang pintunya selalu dijaga oleh seorang petugas yang tidak boleh beranjak dari sana agar segala gerak-geriknya senantiasa terkontrol. Salah satu kebiasan Said Nursi di musim panas adalah keluar dari rumah tahanannya untuk jalan-jalan di dataran rendah dan perkebunan di sekitar Emirdag. Ketika itu para polisi selalu mengawasinya sampai pada suatu ketika mereka menghadang dan sorban dari kepalanya dilepaskan oleh mereka, lalu digiring ke kantor polisi dengan alasan melanggar undang-undang model pakaian (Salih 2003, hlm. 83).
Pada tanggal 23 Januari 1948 M. polisi menggrebek dan menggeledah rumah Ustaz Bediuzzaman dan rumah lima belas para murid Madrasah an-Nur. Ia bersama muridnya ditangkap da dijebloskan ke dalam sel rutan kota Afyon. Kemudian teror dan langkah serupa dilakukan pula berbagai kota lain, seperti: Isparta, Denizli, dan Aydin, sehingga lima puluh empat di antara murid Madrasah an-Nur yang lain ditangkapi pula.
Kali ini pun dakwaan yang dituduhkan sama dengan dakwaan yang dituduhkan sebelumnya. Padahal pengadilan sebelumnya telah menyatakan bahwa Ustaz Bediuzzaman bersama para muridnya bebas dari dakwaan tersebut, yakni bahwa ia bersama mereka tidak terbukti membentuk organisasi politik dan tidak terbukti melakukan kegiatan yang betujuan hendak meruntuhkan sistem pemerintaha yang berlaku…, dan seterusnya. Tetapi lagi-lagi alasan di atas dijadikan dasar penangkapannya bersama murid-murid oleh polisi.
Sidang pengadilan berjalan lama dan akhirnya pada tanggal 6 Desember 1948 M. Ia divonis hukuman penjara dua puluh bulan. Sedangkan vonis yang dijatuhkan kepada para muridnya tidak seragam bahkan ada yang dibebaskan. Bediuzzaman menolak vonis ini dan menyatakan banding. Dalam pengadilan istimewa pun ia diputuskan bebas dari segala dakwaan yang dituduhkan. Keputusan di atas berdasarkan keputusan pengadilan Denizli yang menyatakan ia bebas dari segala dakwaan yang dituduhkan yang nota bene sama dengan yang menjadi alasan mengapa kali ini ia diajukan ke pengadilan.
Pengadilan sekali lagi meninjau kalau-kalau masih ada kasus di luar yang diajukan dalam pengadilan istimewa. Tampak pengadilan menunda-nunda waktu dalam menyelesaikan peninjauannya. Sidang ditangguhkan dari bulan ke bulan yang walaupun pada akhirnya mengakui hasil keputusan yang ditetapkan oleh pengadilan istimewa. Namun demikian proses pembebasan Bediuzzaman masih saja ditunda-tunda dan oleh karenanya ia harus menderita hidup dalam sel rumah tahanan sekian lama. Dengan demikian, keputusan bebas yang diberikan tidak bermanfaat lagi baginya. Sebab, vonis pengadilan pertama yang mengharuskan dia dipenjara dua puluh bulan, ternyata seluruhnya ia jalani.
Dalam penjara ini ia pun tidak lupa menunaikan misi dakwah yang diembannya. Banyak para kriminal dan pembunuh yang sedang menjalani hukuman mendapat hidayah dari Allah melalui dakwahnya. Begitu juga waktu-waktu selama berada di sana olehnya dimanfaatkan untuk menulis. Terciptalah asy-Sya’a’ ke-15, yakni Risalah al-Hujjah az-Zahra yang memuat dalil-dalil argumentatif tentang wujud Allah SWT. dan wahdaniyat-Nya serta bahwa Muhammad SAW benar-benar seorang nabi.
Ketika pengadilan terpaksa harus melapangkan jalan untuknya setelah ia menjalani hidup di dalam tahanan selama dua puluh bulan karena dianiaya tanpa hak mengingat sebelumnya juga pengadilan telah memutuskan bahwa dia bebas dari segala dakwaan yang dituduhkan kepadanya ternyata jadwal pembebasan tidak sesuai waktu yang seharusnya. Ketika itu, ia baru dibebaskan pada tanggal 20 September 1949 M., yakni pada waktu fajar. Pembebasan kali ini dilakukan dengan didampingi dua orang polisi bersama beberapa orang muridnya dan merupakan pembebasan untuk ditempatkan di suatu rumah yang telah disediakan khusus baginya (Salih 2003, hlm. 88-90).
Setelah keluar dari tahanan Afyon, Bediuzzaman tinggal di sebuah rumah di kota Afyon untuk jangka waktu dua bulan. Selama tinggal di sini, tampak dua orang polisi selalu mengawasi setiap murid ia yang mengunjunginya. Dengan demikian, hakikatnya ia tetap dalam penahanan hanya saja dalam bentuk yang lain.
Pada tahun itu (1949 M) Risalah Nur tersebar di mana-mana. Peristiwa ini terjadi setelah pengadilan di berbagai daerah mengizinkan untuk dicetak, sehingga hasil cetakan ini tersebar mulai dari kota sampai desa di seluruh wilayah Turki. Dampak daripadanya, Risalah Nur mendapat dukungan beribu-ribu pembaca dan cahaya iman pun berhasil menyinari beribu-ribu hati.
Demikianlah gerakan Nur mendapat tempat di hati masyarakat Turki, sehingga seorang pun tidak mungkin untuk tidak memperhatikannya. Pengadilan di berbagai tempat yang digelar untuk mengadili Bediuzzaman dan para muridnya ternyata tidak kuasa membendung gerakan an-Nur, bahkan kehendak Allah menentukan agar pengadilan-pengadilan itu sendiri sebagai sarana efektif untuk menyebarluaskan Risalah Nur. Hal ini dikarenakan pembelaan yang dilakukan olehnya di pengadilan-pengadilan tersebut dianggap sebagai media terbaik untuk menerangkan tujuan dari Risalah Nur, juga sebagai media paling tepat untuk mengemukakan maksud dari orang-orang yang mencoba merintangi misi yang terkandung dalam Risalah Nur. Kemudian kehendak Allah pun berketetapan agar penjara merupakan tempat yang paling strategis bagi mereka untuk saling mengenal dan membina persaudaraan di antara sesama mereka, juga untuk mempelajari huruf Arab dan memperbaharui janji di antara mereka untuk selalu menjadikan diri mereka sebagai pelayan Islam. Benar-benar semua ini merupakan Madrasah Yusufiah, sebagaimana dinamakan oleh Bediuzzaman.
Pada tahun 1950 M. Partai Demokrat berhasil mengambil alih kekuasan dari Partai panggung kekuasaan, keluarlah surat pengampunan umum dan karenanya kasus yang menyangkut Bediuzzaman bersama Risalah Nur juga dianggap tidak pernah terjadi (Salih 2003, hlm. 94-95).
Kaum muslimin bergembira dengan tampilnya Partai Demokrat sebagai pemegang kendali pemerintahan. Tetapi kegembiraan ini bukan karena ia sebagai partai Islam, melainkan oleh dua faktor utama:
- Karena Partai Demokrasi berhasil menggeser pemerintah yang sangat memusuhi Islam,
- Karena Partai Demokrasi memberi sedikit kebebasan kepada Islam untuk beraktifitas dan telah mengembalikan azan syar’i untuk berkumandang
. Untuk itu, Bediuzzaman mengirim ucapan selamat kepada presiden Republik Turki yang baru, Jalal Bayar, teriring harapan semoga Allah melimpahkan taufik kepadanya dalam rangka mengabdikan diri kepada Islam. Presiden pun kemudian membalasnya dan berterimakasih atas ucapan ini.
Kalau diambil periodisasi Sukran Vahide di atas bahwa setelah tahun 1950 Nursi masuk periode Third Said. Bertepatan dengan masa multi partai pada Republik Turki. Vahide (2005, hlm. 306) menguraikan bahwa perubahan nyata pada Nursi –karena periode ini disebut third Said pada kehidupannya- adalah pendekatannya terhadap kehidupan sosial dan politik. Aspek Third Said ini langsung terkait dengan kemenangan Partai Demokrat pada tahun 1950. Tetapi keterlibatan Nursi dalam bentuk dukungan dan bimbingan kepada Partai Demokrat yang dia menggambarkan sebagai “the lesser of two evils” (yang kurang buruk di antara dua keburukan) atau ahwan as-syarr (yang paling sedikit keburukannya di antara yang buruk). Dia mendukung Partai Demokrat agar menghalangi Republic People Party (Partai Rakyat Republik) untuk tidak memerintah kembali. Hal ini bukan merupakan keterlibatan aktif di dunia politik. Dia juga tidak mengizinkan murid-muridnya untuk melibatkan diri mereka dalam dunia politik atas nama gerakan Nur. Kalau ada seseorang yang terlibat, mereka melakukan hal itu atas nama individu. Nursi menyarankan bimbingan kepada pemerintah baru terutama melalui surat-surat, murid-muridnya, dan beberapa hubungan individu dengan menteri-menteri Partai Demokrat.
Alasan yang perlu digaris bawahi untuk surat-surat Nursi kepada Menderes dan Partai Demokrat adalah dengan menunjukkan beberapa “Fundamental Laws”* (hukum-hukum dasar) al-Qur’an dan ia mempercayainya sebagai sarana efektif untuk membangun keadilan sosial dan perdamaian. Dengan ini, dia tidak menyebutnya sebagai implementasi al-Qur’an dan syariat, tetapi prinsip-prinsip tersebut menjadi garis pedoman dan aturan etika dasar dalam penyusunan peraturan dan kebijakan baru.
Dua bulan setelah di kota Afyon, ia bersama muridnya pergi menuju Emirdag. Tercatat, bahwa ia menetap di sana selama dua tahun. Kemudian setelah itu (pada tahun 1950 M) ia pergi untuk mengunjungi kota Eskisyehir dan di sana ia berjumpa dengan para murid lama dan baru. Sesudah itu, Bediuzzaman melanjutkan kunjungannya ke kota. Isparta. Di kota ini, ia tinggal selama tujuh puluh hari dan selama itu ia bertemu dengan para muridnya, sehingga terjadilah nostalgia bersama mereka (Salih 2003, hlm. 96-97).
Selama itu pula sebagian para muridnya yang tinggal di Istanbul berhasil mencetak Risalah Mursyid asy-Syabab dengan huruf baru. Peristiwa ini telah dijadikan materi dakwaan yang dialamatkan kepada Bediuzzaman, karena dianggap telah melanggar pasal 163 UUD Turki, yakni ayat yang melarang setiap aktifitas yang bertujuan mendirikan negara berdasarkan Islam.
Bediuzzaman dipanggil agar datang di Istanbul supaya hadir di pengadian tinggi. Dalam panggilan ini ditetapkan agar ia telah hadir di pengadian pada tanggal 22 Januari 1952 M. Satu catatan penting, bahwa pada masa ini ia berhasil menulis suatu kajian risalah yang berjudul Miftah Li ‘Alam an-Nur.
Berangkatlah Bediuzzaman ke Istanbul dan di sana ia tinggal di Hotel Aqsyehir. Kedatangannya di Istanbul kali ini merupakan kunjungannya yang pertama setelah dua puluh tujuh tahun tidak lagi berkunjung ke sana. Pada tanggal 22 Januari 1952 M. sidang pengadilan digelar dan Bediuzzaman pun hadir dengan diiringi oleh ratusan para murid Madrasah an-Nur. Akhir dari sidang kasus ini, pengadilan megeluarkan surat keterangan yang menetapkan bebas terhadap Nursi (Salih 2003, hlm. 98-102).
Pada tahun itu (1953 M) Istanbul sedang mempersiapkan diri untuk merayakan tahun ke-500 berada di tangan bangsa Turki. Sudah barang tentu perayaan pun sangat meriah dan megah. Tercatat, bahwa Ustaz Said Nursi termasuk salah seorang di antara para undangan resmi. Setelah menetap kira-kira tiga bulan di Istanbul, Bediuzzaman bermaksud hendak mengunjungi kota-kota yang pernah didiami yang tidak mungkin terlupakan dalam lembaran hidupnya.
Untuk itu, ia berangkat menuju Emirdag kemudian Eskisyehir dan dari sini selanjutnya ke Isparta, dimana ia berada di sini selama delapan puluh hari. Dari Isparta, bersama sekelompok dari para muridnya perjalanan pun dilanjutkan ke kota kenangan (Barla), kota yang menjadi saksi dan beruntung menjadi tempat pertama bagi gerakan Nur dan Rasail an-Nur mengibarkan benderanya, kota yang pernah menjadi tempat dirinya dibuang yang membawa berkah, sehingga hari-hari yang paling berkesan di hati, sebagaimana kenangannya juga merupakan kenangan paling indah. Ia kembali berada di kota Barla dan peristiwa ini terulang setelah dua puluh tahun berlalu dengan sejumlah peristiwa dan ragam cobaan yang mewarnai lembaran sejarah hidupnya (Salih 2003, hlm. 105-106).
Pada tahun 1948 M. pengadilan Afyon telah membentuk tim ahli yang bertugas meneliti Risalah Nur dan menyampaikan hasilnya, juga melaporkan sesuatu yang kontra UU Turki bilamana hal ini didapatkan. Sidang pengadilan terhadap Risalah Nur telah berlangsung selama delapan tahun. Pada akhirnya pengadilan mengeluarkan keputusannya tertangal 25/5/1956, berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh tim ahli, bahwa Risalah Nur tidak memuat unsur yang menyalahi UU Turki.
Berdasarkan keputusan ini, berarti Risalah Nur memungkinkan untuk dicetak dan diterbitkan secara terbuka. Spontan para murid Madrasah an-Nur menyingsingkan lengan baju untuk memulai mencetak dan menerbitkannya, setelah terlebih dahulu Said Nursi melakukan koreksi dan perbaikan yang diperlukan.
Dengan dicetak dan diterbitkannya Risalah Nur Ustaz Said Nursi sangat bahagia, sebagaimana hal ini tercermin dari kata-katanya: “Ini merupakan hari kemenangan Risalah Nur. Sungguh aku menanti-nanti hari seperti ini. Dengan ini pula, berarti misiku telah berakhir dan karenanya aku pun akan segera pulang (ke rahmatullah)”.
Pada tahun 1957 Turki menyelenggarakan pemilu. Ada dua partai utama yang bersaing ketat untuk menduduk kursi pemerintahan, yaitu: Partai Demokrat yang berkuasa yang beroposisi bersama partai-partai kecil yang tidak begitu berpengaruh dalam menentukan arah jalannya pemilu ini. Sekalipun Partai Demokrat bukan partai Islam, namun tuntutan kebebasan yang mendominasi keadaan di Turki setelah partai ini memenangkan pemilu dan setelah gelombang anti Islam yang dimotori oleh partai yang berkuasa sebelumnya surut, semua ini telah memberi angin segar dan memadai bagi gerakan Islam di Turki untuk berpihak kepada Partai Demokrat.
Sekalipun Said Nursi tidak terlibat dan tidak mau melibatkan diri dalam dunia politik praktis, apalagi mendirikan partai politik, hanya saja ia pun dalam pemilu telah memberikan suaranya kepada Partai Demokrasi. Langkah ini ditempuh, karena tidak ingin Partai Rakyat Republik kembali memerintah Turki (Salih 2003, hlm. 108-109).
Masa akhir kehidupan Nursi telah dijalani bersama para muridnya di Isparta. Terkadang ia melakukan kunjungan ke Barla dan begitu juga ke Emirdag. Namun karena faktor usia yang telah lanjut, sebagian besar waktunya ini dihabiskan di atas tempat tidur. Ia pun jarang bertemu dengan masyarakat luas, karena sudah tidak mampu lagi harus menerima kunjungan ratusan orang-orang yang ingin mengunjunginya. Suatu ketika ia berkata: “Membaca Risalah Nur beratus kali lipat lebih baik dari berbincang-bincang dengan saya”.
Para muridnya sangat hormat kepadanya, sehingga tidak seorang pun di antara mereka yang berani masuk menemuinya tanpa diminta. Namun begitu, tidak berarti bahwa ia terputus dari dunia luar secara total. Untuk memperoleh informasi, ia meminta agar salah seorang di antara para muridnya membacakan berita utama yang dimuat oleh surat kabar. Ia sangat antusias mengikuti berita peluncuran Risalah Nur dan berbagai pengadilan yang menyidangkan para muridnya.
Pada bulan Maret tahun 1960 ia jatuh sakit parah karena terserang penyakit paru-paru. Pada tanggal 18 bulan ini juga, penyakit yang diderita semakin parah sampai jatuh pingsan beberapa kali. Kemudian ia tidur nyenyak dan baru bangun untuk shalat subuh, lalu mengambil wudu dan mengganti pakaiannya. Ketika itu, tampak ia seperti telah sembuh dari sakitnya secara total. Kondisi kesehatan Said Nursi terus membaik. Keadaan ini berlangsung sampai tanggal sepuluh Ramadhan dan setelah itu kesehatannya memburuk, suhu badannya sangat panas. Pada suatu hari, ia membukakan mata dan berkata kepada para murid-muridnya yang secara bergiliran menjaga semalaman: Kita akan pergi!!
Ketika salah seorang bertanya: “Tuan guru, ke mana kita hendak pergi? Ia menjawab: Ke Urfa …Bersiap-siaplah!! (Salih 2003, hlm. 110-113).
Sebagian di antara para muridnya berkeyakinan, bahwa ia berkata demikian dalam keadaan tidak sadar. Sebab, tidak masuk akal dalam kondisi demikian melakukan perjalanan. Lebih dari itu, karena mobil mereka sedang rusak dan perbaikannya memerlukan waktu.
Mereka menyampaikan masalah ini kepadanya dengan harapan bersedia mengubah rencana perjalanannya. Kemudian ia menjawab: “Siapkan saja mobil yang lain. Bukankah ia mampu menyewanya barang seratus lira? Aku siap menjual jubah ini bila memang diperlukan”
Ketika polisi yang bertugas mengawasi Said Nursi melihatnya berangkat meninggalkan tempat, segera kejadian ini disampaikan ke kantor polisi. Pasukan polisi pun spontan disiagakan dan salah seorang muridnya dipanggil agar menghadap di kantor polisi, lalu diberondong serangkaian pertanyaan.
Hubungan melalui telegram dan telepon serta berbagai alat komunikasi lainnya segera dilakukan ke berbagai kota di Turki. Seolah-olah seorang berbahaya dan membahayakan telah kabur dan lolos dari sel tahanan. Kebetulan saat itu cuaca turun hujan. Keadaan ini dimanfaatkan oleh para murid Nursi untuk menutupi nomor mobil dengan lumpur agar tidak dikenali oleh polisi. Mobil pun meluncur dengan bersimbah lumpur hujan menuju Urfa. Setelah menempuh perjalanan panjang yang melelahkan dan dalam hembusan topan yang kencang, akhirnya pada tanggal 21 Maret mereka sampai di Urfa dan menginap di Hotel Apak Plaza. Tidak lama kemudian, polisi tampak mengepung hotel dan pihak berwajib masuk ke kamar hotel tempat dia menginap dan menyuruhnya agar meninggalkan kota sekarang juga -padahal saat itu ia tampak tidak berdaya dan hanya berbaring di atas ranjang- dan kembali ke Isparta. Perintah ini dikeluarkan langsung dari Menteri Dalam Negeri.
Sore hari itu suhu badannya naik dan ia tidak berbicara apa-apa selain berdoa seperti tampak dari kedua bibirnya. Pada pukul 2.30 dini hari salah seorang muridnya memeriksa suhu badannya. Ketika itu didapatkan sedikit menurun, lalu ia diselimuti. Kemudian tungku pemanas ruangan dinyalakan. Alhamdulillah, ujarnya sesudah mendapatkan kondisi fisik gurunya membaik.
Tetapi saat shalat subuh tiba dan saat didekati, ia tidak bangun untuk shalat, salah seorang muridnya yang lain segera membukakan tutup mukanya, sehingga apa yang terjadi tampak jelas kelihatan. Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji’un. Sang guru telah berpulang ke Rahmatullah. Kalender yang menggantung di dinding menunjukkan hari Rabu, 25 Ramadhan 1379 H (23 Maret 1960 M) (Salih 2003, hlm. 114-118).
Terlepas ada dan tidak adanya Third Said ada perubahan pendekatan Said Nursi terhadap politik pada periode Said Qadim, Said Jadid dan periode pemerintahan Partai Demokrat (1950-1960). Tetapi ini tidak berarti ada ketidakkonsistenan dalam pemikiran politiknya, melainkan membaca kondisi pada waktu itu dan menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Ia tetap konsisten prinsip-prinsip politiknya yang diuraikan pada periode Said Qadim seperti musyawarah, keadilan, kebebasan pada tiga periode tersebut.
Said Nursi yang hidup selama 83 tahun menghadapi perubahan-perubahan serius yang terjadi pada abad ke-20. Nursi bertindak terhadap perubahan-perubahan tersebut sesuai dengan kondisi zaman. Transformasi dari Said Qadim ke Said Jadid di satu sisi menunjukkan sebuah perkembangan dan transformasi dalam diri Nursi, di sisi lain menunjukkan perubahan kondisi zaman dimana ia hidup.
Periode pertama, yaitu Said Qadim, ia lebih aktif dan langsung terjun di dunia politik. Pada periode Said Jadid, ia mengutamakan iman tahqiqi, memperkokoh iman masyarakat. “Penyelamatan iman” ini ia angkap sebagai dakwah utama. Melalui dakwah utama inilah akan terbentuk masyarakat yang lebih Islami. Hubungannya dengan politik bersifat pasif dan komentar-komentar saja. Setelah tahun 1950, ketika Partai Demokrat berkuasa, pemerintah membebaskan agama dari berbagai tekanan dan Nursi mengutarakan pendapatnya sebagai pengarahan dan bimbingan terhadap pemerintahan agar pemerintah berpihak kepada Islam dan memperhatikan pendidikan Islam. Hal ini merupakan salah satu kontribusi Nursi terhadap perkembangan Islam di Turki dengan politik yang ia tempuh.
Pengaruh Said Nursi di Turki
Setelah Nursi meninggal pada tahun 1960, halaqah-halaqah Nur menjadi sebuah “komunitas” dan tersebar di seluruh penjuru Turki. Pemikiran Nursi memberikan makna kepada kehidupan sehari-hari para pengikutnya. “Komunitas” ini berkumpul, membaca dan menginterpretasi Risale-I Nur di Dershane. Dersane adalah sebuah rumah khusus atau sebuah flat dari apartemen dimana para pengikut Nursi berkumpul dan berdiskusi tulisan-tulisannya. Risale-i Nur menjadi alat untuk tali silaturrahmi antara para pengikut Nursi (Yavuz 2003, hlm. 162-163). Dan sekarang, jutaan orang Turki membaca Risale-i Nur dan mengikuti pengkajiannya. Tambah lagi, dengan terjemahan Risale-i Nur dalam sekitar 30 bahasa, kebanyakan umat manusia bisa memanfaatkan dari Risale-i Nur.
Dersane menjadi sebuah institusi yang menggabungkan individu ke dalam masyarakat. Tulisan-tulisan Nursi membantu pembentukan mekanisme baru yang bersifat sosial seperti Dershane, yayasan dan media massa, tranmisi pemikiran, dan meningkatkan kesadaran mengenai opini publik. Gerakan Nur memanfaatkan jaringan halaqah Nur sebagai batu loncatan untuk membangun komunitas baru. Melalui lingkungan counterpublics yang bisa diartikan tempat dimana masyarakat kumpul, mereka menemukan ide dan pemikiran untuk mengkritik identitas yang rasmi dan hegemonik, dan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan publik tanpa meninggalkan identitas mereka.
Dershane merupakan tempat untuk mensosialisasikan nilai-nilai Islam melalui membaca dan diskusi. Perkembangan jaringan dershane pada tahun 1980-an menggambarkan dua hal. Pertama, Gerakan Nur menunjukkan bagaimana berbagai kebijakan negara, kondisi pasar bebas dan kesempaatn berkomunikasi membantu untuk pembentukan komunitas baru. Mereka mempertunjukkan dershane memfasilitasi tidak hanya pembentukan ethic global tetapi juga kontruksi kesadaran religius yang baru.
Dersane sebagai tempat publik religius telah bermain peran penting dalam sirkulasi ide dan kemampuan aktivitisme civil. Kumpul bersama di dershane untuk membaca tulisan-tulisan Nursi menjadi sebuah aktivitas publik. Di dershane Islam menjadi sebuah sumber solidaritas dan tempat pertanggunjawaban sosial dalam pembentukan individu dan masyarakat muslim. Pesan Nursi tidak mencari transformasi sosio-politik secara mendadak, lebih dari itu berusaha menciptkan sebuah masyarakat religius yang sadar (Yavuz 2003, hlm. 165-166).
Isu untuk generasi kedua Nurcu (pengikut Nursi atau para pembaca Risalah Nur) adalah tidak hanya membangun kesadaran Islami, tetapi juga bagaimana membawa kesadaran itu ke dalam kehidupan sehari-hari agar mengatasi kerusakan individu dan moral masyarakat. Tetapi belum ada yang mengembangkan sebuah agenda politik yang berdasarkan karya Nursi. Salah satu sebab untuk hal ini adalah tujuan utama Said Nursi bukanlah transformasi sistem sosial dan politik Turki, tetapi lebih dari itu konsentrasi terhadap pembentukan kesadaran maknawi individu muslim. Dia berasumsi bahwa implementasi sosial dan politik akan terjadi secara otomatis sebagai akibat dari kesadaran Islami yang direvitalisasi.
Karena berbeda penafsiran terhadap karya-karya Nursi muncul beberapa kelompok dalam Gerakan Nur seperti Yeni Asya (Asia Baru), Mesveret (Musyawarah), Hocaefendi Cemaati (Jamaah Fethullah Gulen, seorang tokoh Turki) pada awal tahun 1970-an. Kelompok-kelompok tersebut masing-masing mempunyai cita-cita sesuai dengan interpretasi mereka terhadap karya-karya Nursi. Pengaruh Gerakan Nur makin meningkat walaupun mereka sering terpecah. Paradoks ini menunjukkan sifat lentur dan luasnya corak khas pemikiran Gerakan Nur.
Pada awal tahun 1970-an gerakan Islam yang berkembang di sekitar Adalet Partisi (Partai Keadilan) menjadi kekuatan dengan pembentukan Mili Selamet Partisi (Partai Keselamatan Nasional) yang didominasi oleh pengikut-pengikut Tariqat Naqsyibandiah. Sebagian kelompok Gerakan Nur mendukung Milli Sekamet Partisi (MSP) yang pro-Islam dan hal ini menciptakan persilihan politik pertama pada Gerakan Nur. Keputusan sebagian kelompok Gerakan Nur untuk terlibat dalam dunia politik merupakan reaksi terhadap kebijakan pro-bisnis Adalet Partisi (AP) pada akhir tahun 1960-an. Di samping itu karena radikalisme politik gerakan kiri Turki dan peningkatan dominan mereka dalam politik, sebagian pengikut-pengikut Nursi memutuskan terlibat dalam politik dengan rasa enggan. Beberapa Nurcu seperti Tevfik Paksu, Gunduz Sevilgen telah berperan dalam pendirian MSP dan terpilih menjadi anggota legislatif.
Perbedaan pandangan terhadap kudeta militeri pada tahun 1980 mneyebabkan perpecahan politik kedua di antara kelompok-kelompok Gerakan Nur. Persilihan ini lanjut sampai pada tahun 1982. kelompok pertama, yaitu Yeni Asya secara konsisten mendukung AP dan mengkritik junta militeri. Mereka memutuskan untuk menentang rencana konstitusi militeri. Sedangkan dua pemimpin terkemuka Gerakan Nur, yaitu Mehmet Kirkinci dan Fethullah Gulen memberikan persetujuan terhadap kudeta militeri dan konstitusi militeri.
Konstitusi 1982 menyebabkan debat besar di antara kelompok-kelompok Gerakan Nur. Mereka yang menentangnya mengatakan bahwa konstitusi baru tidak demokratis. Sebenarnya konsitusi baru berusaha menciptakan sebuah negara otoriter dengan menciutkan masyarakat. Ia membatasi hak politik dan kebebasan. Hal ini membatasi kegiatan Gerakan Nur. Kelompok Yeni Asya menentang konstitusi baru melaui media massa, sehingga banyak nurcu menjadi kecewa terhadap konstitusi dan menjadi konfontrasi dengan negara. Akhirnya surat kabar Yeni Asya ditutup. Pejabat-pejabat militeri mengunjungi beberapa nurcu terkemuka seperti Mehmet Kirkinci untuk meminta dukungan terhadap konstitusi atau menerima risiko penutupan para dershane (Yavuz 2003, hlm. 167-168).
Walaupun Nursi tidak mendirikan atau ikut serta dalam sebuah partai politik, namun pengaruhnya terhadap dunia politik cukup kuat. Karena Nursi telah berusaha untuk membentuk individu religius, sehingga terwujud masyarakat yang religius. Meskipun Gerakan Nur tercepah menjadi puluhan kelompok, masing-masing kelompok berusaha membentuk masyarakat yang lebih religius. Bahkan ada kelompok tertentu terlibat dalam politik. Selain itu ada juga pengikut Nursi masik parlemen sebagai anggota legislatif. Tentu saja hal ini berpengaruh terhadap dunia politik dan membangun masyarakat yang lebih demokratis.
Bab 3
PRINSIP-PRINSIP POLITIK ISLAM MENURUT BEDIUZZAMAN SAID NURSI
Penelitian ini menjelaskan bahwa pemikiran politik Said Nursi memuat enam prinsip dasar yang meliputi tauhid, musyawarah, kebebasan, keadilan, persamaan dan nasioanalisme.
Tauhid
Salah satu prinsip dasar pemikiran politik Nursi adalah tauhid sebagaimana Imam al-Ghazali dan para tokoh pendahulunya juga berpendapat tauhid sebagai dasar pemikiran politik Islam. Menurut Nursi (2003a, hlm. 698-699) alam semesta ini merupakan sebuah sistem mulai dari partikel sampai galaksi. Oleh karena itu, sistem ini dengan semua bagiannya sesungguhnya sebuah bahan penelitian agar mencapai sistem sosial da politik untuk manusia. Dari pernyataan di atas dapat dipahami negara juga suatu sistem yang di dalamnya harus ada prinsip tauhid dalam membangun negara yang teratur dan sistematik. Dalam pandangan Nursi ada dua macam tauhid, yaitu tauhid lahir dan umum (taqlidi), tauhid haqiqi. Ia menguraikan tauhid tersebut sebagai berikut :
Tauhid lahir dan umum (tauhid taqlidi) dari orang yang beriman: “Allah yang Maha Kuasa adalah satu, tanpa pasangan atau menyamai-Nya. Jagad raya ini milik-Nya.” Tauhid haqiqi adalah dengan melihat tanda kekuasaan-Nya, stempel kemuliaan-Nya, dan tulisan pena-Nya pada segala sesuatu, seorang membuka pintu secara langsung menuju cahaya-Nya. Orang itu kemudian mengakui dan percaya, dengan seluruh keyakinan yang berasal dari pengamatan langsung, bahwa segala sesuatu ada karena kuasa-Nya, bahwa Dia tidak memiliki pasangan atau pembantu dalam sifat ke-Tuhanan dan Kemuliaan-Nya atau Kekuasaan-Nya yang absolut. Dengan cara ini, seseorang mencapai tingkatan kesadaran permanen atas keberadaan Tuhan (Nursi, 2003d, hal.35).
Selanjutnya, Nursi menguraikan bukti-bukti dari alam semesta untuk mencapai tauhid haqiqi. Menurutnya, keteraturan, keseimbangan, dan keindahan yang pada alam semesta menunjukkan keberadaan Allah SWT. Kemudian, Said Nursi (2003a, hal.663-668) berpendapat adanya 6 rukun iman, yaitu iman kepada Allah SWT, akhirat, malaikat, kenabian, kitab-kitab samawi dan taqdir. Menurutnya, perubahan yang bersifat baik dalam sebuah masyarakat mulai dari individu ke komunitas melalui tauhid haqiqi yang disebut di atas. Oleh karena itu , ia mengemukakan bahwa :
Manusia ini dihadirkan ke dunia untuk mencapai kesempurnaan melalui pengetahuan dan doa. Karena setiap sesuatu di dunia dihadapkan pada ilmu dan berkaitan dengan pengetahuan sesuai dengan esensi dan persiapannya. Jadi, landasan setiap ilmu yang haqiqi, tambang, cahaya dan ruhnya adalah ‘makrifat kepada Allah’ sebagaiman landasan dasar ini adalah ‘iman kepada Allah’ (Nursi 2004a, hlm. 18-19).
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa tauhid adalah pondasi sistem politik Islam untuk membangun masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Dari pandangan Nursi tentang tauhid, berpendapat bahwa:
Nursi mendefinisikan iman, yakni sebagai pengertian kehidupan manusia dari lahir sampai meninggal dala terminologi konsep al-Qur’an. Menurutnya, dengan perubahan dari iman taqlidi ke iman haqiqi, umat Islam bisa melawan dengan positivisme modern, yaitu materialisme dan atheisme. Seorang muslim harus menanyakan kenapa dan bagaimana dia diciptakan? Setelah menjawab pertanyaan di atas, umat Islam dapat membangun satu komunitas dengan kesadaran tersebut. Dia membuktikan bahwa, semua kebajikan- keadilan, perdamaian, kejujuran, persatuan dan cinta- berasal dari iman dan ajaran moral Islam; sebaliknya, anarki, egoisme, penindasan dan kemelaratan semuanya merupakan akibat dari ketiadaan iman dan ajaran moral. Oleh karena itu, iman merupakan fondasi komunitas bermoral dan sumber pengetahuan yang terkait dengan fenomena dunia (Yavuz 2003, hlm.158).
Hal yang sama diungkapkan Rais (1991, hal.44) dalam bukunya berjudul Cakrawala Islam bahwa : “seluruh bidang dan kegiatan hidup kaum Muslimin harus bertumpu pada tauhid. Dengan menjadikan tauhid sebagai poros – sentral kehidupan mereka. kaum muslimin dapat menarik atau mendeduksi etika, nilai-nilai norma pokok serta parameter bagi kehidupan bernegara dan berpemerintahan”.
Sebagaimana pendapat Rais yang mengatakan tauhid adalah prinsip dasar dalam dunia politik, Nursi juga meyakini bahwa tauhid merupakan prinsip dasar dalam kehidupan sosial. Perubahan dari iman taqlidi menuju iman haqiqi membuahkan masyarakat yang peduli dengan prinsip-prinsip Islamdalam sebuah pemerintahan dan menciptakan pemimpin-pemimpin adil yang menerapkan nilai-nilai Islam dalam menjalankan kebijakan-kebijakanya. Tidak hanya Nursi, tetapi juga tokoh-tokoh lainya seperti al-Gazali, al-Maududi berpendapat bahwa tauhid adalah fondasi dalam politik, maka pantas Nursi berpendapat tauhid sebagai prinsip politik dalam Islam.
Masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat dapat diatasi dengan pencapaian pada tingkat iman haqiqi. Karena, rekontruksi dalam watak masyarakat dengan iman haqiqi berpengaruh pada sektor ekonomi, politik dan kehidupan sosial. Dengan demikian, masyarakat akan maju tanpa meninggalkan nilai-nilai Islam dan tradisi masyarakat.
Terjadi banyak penyelewangan-penyelewangan oleh para pemimpin dan pejabat dalam dunia politik pada masa kini. Prinsip tauhid memberikan kesadaran kepada para pemimpin bahwa semua kebijakan yang mereka jalankan akan dipertanggunjawabkan di hadapan Allah SWT. Maka, dengan kesadaran tauhid para pemimpin dan pejabat tidak menindas hak rakyat dan berhati-hati dalam setiap keputusannya.
Para pejabat dan penguasa cenderung memiliki otoritas yang tidak bisa ditentang, oleh karena itu banyak manusia yang begitu saja menyerah dan tunduk kepada mereka tanpa daya pikir dan keberanian untuk mengkritik. Dengan mencapai tingkat iman tahqiqi yang disebutkan oleh Nursi di atas, masyarakat bisa mengkritik kebijakan-kebijakan pemimpin demi kemaslahatan umat. Karena manusia merupakan hamba Allah semata dan tidak merendahkan diri kepada sesuatu apapun.
Musyawarah
Dawam Rahardjo (2002, hlm.444) mengemukakan bahwa; musyawarah, oleh para pemikir modern , dianggap sebagai doktrin kemasyarakatan dan kenegaraan pokok, tidak saja karena jelas nash-nya dalam al-Qur’an, tetapi juga karena hal ini diperkuat oleh Hadits atau perkataan Nabi, serta merupakan sunnah atau keteladanan Nabi. Justru di sinilah letak kesulitan dalam menafsirkan arti dan makna musyawarah. Di satu pihak, para mufassir dan pemikir harus dan berusaha melihat konteks maknanya secara lebih spesifik, sesuai dengan apa yang dijalankan Nabi dan shahabatnya. Di lain pihak, mereka terutama para pemikir politik dan kemasyarakatan mengacu kepada bentuk-bentuk musyawarah yang telah berkembang di zaman modern, yang sudah tentu tidak akan diketemukan contohnya yang persis, pada awal perkembangan Islam.
Menurut Shihab (1998, hlm.469) musyawarah bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil datau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Musyawarah dapat juga berarti mengatakan atau mengerjakan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya.
Dalam al-Qur’an ada dua ayat yang menjadi dasar untuk prinsip musyawarah, yaitu surat As-Syura ayat 38 dan surat Al-Imran ayat 159. Allah berfirman sebagai berikut :
tûïÏ%©!$#ur (#qç/$yftGó$# öNÍkÍh5tÏ9 (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# öNèdãøBr&ur 3uqä© öNæhuZ÷t/ $£JÏBur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZã ÇÌÑÈ
Artinya : Dan (bagi) orang –orang yang menerima seruan Tuhannya dana mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.
$yJÎ6sù 7pyJômu z`ÏiB «!$# |MZÏ9 öNßgs9 ( öqs9ur |MYä. $àsù xáÎ=xî É=ù=s)ø9$# (#qÒxÿR]w ô`ÏB y7Ï9öqym ( ß#ôã$$sù öNåk÷]tã öÏÿøótGó$#ur öNçlm; öNèdöÍr$x©ur Îû ÍöDF{$# ( #sÎ*sù |MøBztã ö@©.uqtGsù n?tã «!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tû,Î#Ïj.uqtGßJø9$# ÇÊÎÒÈ
Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Berdasarkan ayat-ayat di atas, Nursi memahami konsep musyawarah tidak hanya dari sudut pandang ekonomi, sosial. Ia percaya bahwa musyawarah merupakan mekanisme untuk mengambil keputusan yang benar untuk urusan Islam. Menurutnya, konsep musyawarah berdasarkan hakikat, argumentasi dan berpikir rasional. Ia juga percaya bahwa melalui proses musyawarah umat Islam, bisa menghadapi dan menjawab tantangan peradaban modern ini.
Menurut Nursi (2002, hlm. 26) untuk mengaktualisasikan musyawarah harus diambil contoh zaman Rasulullah di mana mekanisme membuat keputusan yang diterima berdasarkan pada rasionalitas manusia dan musyawarah yang didukung oleh wahyu, maka tidak ada keraguan dan kesalahan.
Dalam pandangan Nursi, musyawarah tidak hanya terbatas antara individu, tetapi juga perlu dilaksanakan antara kelompok-kelompok dan bahkan antara negara dan benua. Dengan sistem musyawarah itu, umat Islam bisa menghadapi tantangan zaman. Ungkapan di atas dapat dilihat pernyataan Nursi sebagai berikut :
Sesungguhnya kunci untuk kebahagiaan orang-orang yang beriman dalam kehidupan ialah musyawarah. Ayat-ayat suci al-Qur’an memerintahkan kita agar menjalankan musyawarah dalam segala urusan. Sesungguhnya, kunci benua Asia dan ramalan masa depannya adalah musyawarah. Sebagaimana individu-individu itu bermusyawarah maka begitulah sepatutnya bangsa-bangsa dan benua-benua mengadakan musyawarah sesama mereka. Sesungguhnya pada perangkaian setiap rantai yang telah merantai tiga ratus bahkan empat ratus juta muslim dan pembebasan mereka dari perhambaan hanya tercapai dengan musyawarah dan kebebasan syar’i yang bersumber kemuliaan Islam dan kesucian keimanan Islam serta kebebasan syar’i yang dihiasi dengan adab-adab yang bisa menghambat kejahatan peradaban Barat (Nursi 1995a, hlm.51).
Untuk menyelesaikan problem-problem umat Islam, salah satu cara yang ditawarkan oleh Nursi adalah musyawarah. Hal ini bisa terlihat dalam pengajuan proposalnya kepada Partai Persatuan dan Kemajuan bahwa, ia mengajukan proposal yang berisi tiga permintaan. Pertama, mendirikan satu universitas seperti universitas Al-Azhar. Kedua, bersikap tulus, amanah dan menjadi masa depan golongan ulama. Ia menuntut atas nama “perpaduan” dan “kemajuan” supaya pemerintah membantu untuk memenuhi keperluan rakyat, khususnya penduduk Turki Timur. Ketiga, meneguhkan Majlis syura, peranan dan tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah-masalah yang melanda dunia Islam ketika itu tidak seharusnya dibebankan kepada Syaikh al-Islam semata-mata. Untuk mengatasi masalah ini, perlu dibentuk majlis syura yang beranggotakan para ulama dari seluruh dunia Islam. Tindakan ini penting untuk mendapatkan kepercayaan dunia Islam seluruhnya (Mat 2001, hlm.40).
Nursi lahir dan besar pada periode dimana mana absolutisme Sultan mendominasi di Turki Usmani. Para tokoh baik dari Usmani Muda maupun Turki Muda menawarkan pemerintahan konstitusional untuk membatasi keabsolutan Sultan. Nursi juga sepakat dengan pemerintahan konstitusional dan mengatakan ada prinsip musyawarah dalam Islam untuk menjalankan roda pemerintahan.
Untuk memahami pendapat Nursi tentang sistem republik, perlu disampaikan sebuah cerita sebagai berikut: Waktu dia berada di Mahkamah Eskisyehir, ia diminta pendapatnya tentang sistem republik. Nursi mengatakan kepada para hakim bahwa :
Biografi saya yang anda pegang membuktikan bahwa saya seorang republikan yang religius. Sebelum anda lahir semua kecuali ketua hakim, saya mempunyai sebuah cerita. Ringkasan dari cerita sebagai berikut : saya telah bermukim di sebuah makam. Adikku dan teman-temannya membawa makanan untuk saya dan saya kasih remah-remah roti kepada para semut. Setelah itu, saya mencelup roti saya di dalam sup dan makan, mereka bertanya kebijaksanaanku dan saya mengatakan kepada mereka:
Bangsa semut dan lebah adalah republikan. Saya memberi remah-remah ini kepada semut sebagai penghormatan atas kerepublikan mereka.
Mereka katakan kepada saya :
Kamu beroposisi dengan generasi pertama Islam (para sahabat).
Saya menjawab :
Khulafaur Rasyidin adalah khalifah dan sekaligus presidennya republik. Abu Bakar r.a, sepuluh sahabat yang dipuji dengan surga dan para sahabat Nabi adalah seperti presiden. Tetapi bukan sekedar nama dan gelar saja, tetapi mereka adalah kepala republik religius yang membawa keadilan hakiki dan kebebasan yang sesuai dengan syariah (Nursi 2000h, hlm. 386-387).
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa Nursi menggambarkan sistem republik yang mengutamakan hukum, kebebasan berpendapat dan satu sistem yang adil.
Ketika Nursi membahas sistem republik, ia berfikir sistem republik bersama dengan atribut demokratik, dia mengatakan bahwa setiap pemerintah mempunyai oposisi. Selama kelompok oposisi tidak mengganggu kedamaian dan keamanan masyarakat, mereka tidak bisa dihukum karena adanya pemikiran yang mereka punya dalam hati dan kesadaran. Nursi mendukung kebebasan pendapat dalam sistem republik dan mengatakan bahwa sistem republik adalah bentuk kebebasan yang paling luas (Nursi 1999, hlm.127)
Dari uraian di atas terlihat pandangan Nursi sejalan dengan para tokoh Muslim modern. Contohnya, al-Afghani juga setuju dengan sistem republik. Dari persetujuan Nursi terhadap sistem pemerintahan republik dapat dipahami bahwa, sumber kekuasaan adalah rakyat.
Pulungan (2004, hlm. 336) berkesimpulan dari pendapat Nursi tentang musyawarah adalah sebuah prinsip yang menghindarkan masyarakat dari pemerintahan yang tirani. Kemudian, musyawarah harus berdasarkan pada Syariah. Selanjutnya, Nursi memperdebatkan musyawarah adalah sebuah kekuatan untuk memperjuangkan hakikat, keadilan dalam kehidupan sosial secara harmonis. Musyawarah juga merupakan interaksi sosial sesama manusia, antara manusia dan masyarakat atau antara kelompok dengan kelompok lain dari sudut pandang ilmu sosiologi.
Dari uraian di atas, Mursel (1989, hlm.151) berpendapat dalam pandangan Nursi, pelaksanaan musyawarah pada masa Rasulullah SAW mengandung prinsip-prinsip sistem republik. Maka, Nursi menyebut dirinya sebagai “republikan yang religius”. Selanjutnya, musyawarah perspektif Nursi tidak terbatas pada dunia politik, tetapi mencakup hal-hal yang mendorong untuk kemajuan dan perkembangan peradaban manusia. Kemudian, prinsip musyawarah memberikan hak kepada setiap individu untuk memberikan kontribusi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah melalui wakil-wakil yang ada di majlis (DPR). Musyawarah juga membebaskan pihak-pihak yang mengambil satu keputusan tentang politik dari keraguan.
Dari konsep musyawarah Nursi dapat dipahami bahwa ruang lingkup musyawarah tidak terbatas dalam dunia politik, melainkan berlaku untuk masalah-masalah sosial, ekonomi dan individu. Dengan musyawarah dalam pengertian luas prinsip ini menjadi sarana untuk kemajuan umat Islam dan merupakan benteng dalam menghadapi tantangan zaman. Nursi selalu menekankan pentingnya penerapan prinsip musyawarah, namun dia tidak menjelaskan bentuk, tata cara dan hal-hal teknis yang terkait dengan musyawarah.
Seperti diuraikan oleh Dawam Rahardjo pada awal pembahasan bahwa para pemikir muslim berpendapat musyawarah merupakan salah satu prinsip dasar dalam politik Islam. Namun mereka berbeda pendapat dalam penerapan konsep musyawarah. Ketika dibandingkan dengan konsep Said Nursi dapat terlihat bahwa Nursi tidak menguraikan bentuk musyawarahnya seperti apa, tetapi menekankan perlunya pelaksanaan muyawarah di tingkat individu, masyarakat, negara, bahkan antar negara.
Ketika konstitusi kedua (1908) diumumkan di Turki Usmani Nursi mendukung konstitusi tersebut. Karena sistem parlementer yang berdasarkan pada undang-undang merupakan implementasi dari prinsip musyawarah dalam Islam yang berdasarkan kedua ayat di atas. Dengan perubahan dari sistem Monarki ke Republik tidak cukup untuk menerapkan nilai-nilai Islam. Karena, kadang-kadang diterapkan sistem Republik, tetapi yang terjadi despotisme. Oleh karena itu, Nursi lebih menekankan penerapan prinsip-prinsip Islam secara substansif dalam politik daripada simbol-simbolnya.
Dalam konteks politik modern sekarang, prinsip musyawarah menentang elitisme yang menangkap bahwa hanya orang-orang tertentu menjadi pemimpin. Melalui prinsip musyawarah (atau pemilihan), masyarakat memilih pemimpinnya sendiri. Kemudian musyawarah mencegah penyelewengan negara ke arah sistem otoriter, despotisme dan berbagai sistem lain yang membunuh hak-hak politik masyarakat. Karena, dengan musyawarah, masyarakat berpartisipasi dalam dunia politik.
Prisip musyawarah juga dapat mejadi alat untuk mengontrol kebijakan-kebijakan pemerintahan. Karena, melalui wakil rakyat yang di majlis, masyarakat bisa mengontrol kebijakan-kebijakan pemerintah dan mengalokasikannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kebebasan
Kebebasan sangat penting bagi Nursi, bahkan ia mengatakan “saya bisa hidup tanpa roti, tetapi tidak bisa hidup tanpa kebebasan” (Nursi 1999, hlm. 18).
Kebebasan, biasanya diartikan bahwa melakukan sesuatu dengan kehendak sendiri tanpa menganggu orang lain. Dari kaca mata ilmu hukum, kebebasan adalah melakukan sesuatu yang diperintahkan oleh hukum, menghindari apa yang dilarang oleh hukum (Basgil 1961, hlm. 97). Menurut Nursi (1993b, hlm. 14) kebebasan berprinsip tidak ada seorang yang menghakimi orang lain, selain peraturan hukum dan norma-norma masyarakat. Semua hak orang terjamin, semua orang punya kebebasan dalam tindakan yang sesuai dengan ajaran Islam.
Dari definisi di atas, Mursel (1975, hlm. 336) memformulasikan kebebasan sebagai berikut :
- Dalam penggunaan kebebasan, tolak ukur adalah hukum,
- Penggunaaan kebebasan tidak berarti seorang menghakimi orang lain,
- Ketika manusia menggunakan kebebasannya, ia tidak boleh merugikan dirinya sendiri dan orang lain, maka penggunaan kebebasan dalam bingkai Syariah.
Mungkin ada orang yang menafsirkan kebebasan sebagai kebebasan mutlak dan bertindak tanpa batas. Menurut Nursi, tidak ada kebebasan mutlak, kebebasan tanpa batas. Ia mengatakan kebebasan harus dihiasi dengan ajaran Islam. Kalau tidak, mengikuti hawa nafsu, bukan kebebasan lagi, tetapi kebebasan hewani dalam arti kebebasan yang membabi buta.
Nursi membuat relasi secara logis antara iman, kebebasan dan hukum. Menurutnya, orang yang menjadi pelayan Sultan alam semesta dengan ikatan iman, kemuliaan dan izzah iman orang tersebut akan menghindari untuk merendahkan dirinya terhadap orang lain dan menolak despotisme dan kezaliman, dan dengan kasih sayang orang tersebut tidak meremehkan hak dan kebebasan orang lain. Maka ukuran kekuatan iman menjunjung tinggi kebebasan. Contohnya, masa Nabi Muhammad SAW (Nursi 1995a, hlm. 23).
Hubungan antara iman dan kebebasan yang digambarkan Nursi sebuah hambatan terjadinya despotisme dan keabsolutan bagi Nursi. Oleh karena itu, hal ini menjadi sebab utama untuk mendukung Konstitusi Turki pada tahun 1908 (Davutoglu 1995, hlm. 4). Menurutnya, kebebasan merupakan suatu hal untuk perubahan sosial, baik dalam maupun luar negeri, bagi umat Islam. Ia mengatakan “Sesungguhnya pintu pertama untuk masuk kemajuan Asia dan umat Islam mendatang, yaitu masyrutiyyet-i masyrua (konstitusi yang sesuai dengan syariah) serta kebebasan yang sesuai dengan syariah” (Nursi 1993a, hlm. 51).
Nursi (1999, hlm.17) mengakui juga kebebasan berfikir dan beragama, ia mengatakan sistem republik menjamin kebebasan berfikir dan beragama. Tidak seorangpun bisa dihukum dengan pendapatnya yang ia terima dengan hati nuraninya asalkan tidak mengganggu keamanan dan peraturan publik. Dari ungkapan di atas dapat dipahami bahwa seorang atau sebuah organisasi boleh beroposisi dengan pemerintahan, tetapi tidak punya hak untuk merusak keamanan masyarakat. Menurut Pulungan (2004, hlm. 336) dalam pandangan Nursi terdapat kebebasan berpendapat, kebebasan bertindak, kebebasan untuk mencari persamaan di masyarakat.
Dari uraian di atas, Mursel (1989, hlm.105-112) berpendapat bahwa Nursi setuju dengan kebebasan terbatas. Maka, kebebasan harus sesuai dengan ajaran Islam. Ia dihiasi dengan nilai-nilai akhlak seperti kasih sayang agar menjadi alat komunikasi masyarakat dan mencapai manfaat yang diharapkan secara individu, sosial dan politik. Selanjutnya, konsep kebebasan ini menjadi sarana untuk kemajuan dan peradaban.
Dari definisi Nursi tentang kebebasan, dapat dipahami bahwa kebebasan dapat digunakan di bawah supremasi hukum. Dengan supremasi hukum hak individu dijamin oleh negara. Rakyat memiliki kebebasan bertindak selama tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum dan Syariah. Nursi tidak membatasi konsep kebebasannya dengan mengganggu dan mengzalimi orang lain, bahkan manusia tidak berhak mengganggu dan merugikan dirinya. Walaupun manusia memiliki kebebasan, dia bertanggung jawab tindakan- tindakannya terhadap masyarakat dan Allah SWT. Oleh karena itu, tindakan manusia harus sesuai dengan perintah Sang Pencipta. Jika manusia mengikuti hawa nafsunya, maka ia tidak memiliki kebebasan, melainkan menjadi “hamba nafsu”.
Prinsip kebebasan memberikan semangat kepada masyarakat untuk kemajuan. Karena masing-masing individu mempunyai pendapat terkait dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat dan dapat mengutarakan pendapatnya melalui LSM, institusi dan lembaga-lembaga lainya. Kalau tidak ada kebebasan rakyat mengikuti keputusan pemerintah secara paksa dan terjadi despotisme.
Prinsip kebebasan memicu kemajuan di berbagai sektor dan dapat mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Oleh karena itu Nursi menekankan pentingnya kebebasan dengan ungkapan “Sesungguhnya pintu pertama untuk masuk kemajuan Asia dan umat Islam mendatang, yaitu masyrutiyyet-i masyrua (konstitusi yang sesuai dengan syariah) serta kebebasan yang sesuai dengan syariah” (Nursi 1993a, hlm. 51).
Dalam konteks politik modern sekarang, kebebasan berfikir dan berpendapat merupakan alat bagi individu, masyarakat dan organisasi untuk memonitor kebijakan-kebijakan pemerintah dan mereka bisa mengkritik kebijakan-kebijakan tersebut untuk mengarahkan ke hal yang lebih baik dan kepentingan masyarakat sendiri.
Pembatasan kebebasan manusia dengan peraturan hukum dan nilai-nilai Islam menyebabkan keharmonisan masyarakat di mana individu tidak mengambil hak orang lain. Individu bertindak bebas sesuai dengan batas-batas hukum dan Syariah.
Keadilan
Salah satu prinsip penting dalam politik Islam adalah keadilan. Secara bahasa keadilan ialah “tengah” atau “pertengahan”, yaitu makan etimologisnya dalam bahasa Arab. Adil juga sinonim dengan “wasth” yang darinya terambil kata pelaku “wasith” yang artinya ialah “penengah” atau “orang yang berdiri di tengah” yang mengisyaratkan sikap keadilan. Tentu saja, sebagai konsep, makna keadilan itu jauh lebih luas dan rumit dari pada makna kebahasaannya. Seperti dikutip oleh Nurcholis Madjid (1995, hlm. 512-516), menurut Murtadla al-Mutahhari terdapat empat pengertian pokok tentang adil dan keadilan. Pertama, keadilan mengandung pengertian perimbangan atau keadaan seimbang (mawzun), tidak pincang. Jika misalnya suatu masyarakat ingin mampu bertahan dan mantap, maka ia harus berada dalam keseimbangan, dalam arti bahwa bagian-bagiannya harus berada dalam ukuran dan hubungan satu dengan lainnya secara tepat. Kedua, keadilan mengandung makan persamaan (musawah) dan tiadanya diskriminasi dalam bentuk apapun.
Ketiga, pengertian tentang keadilan tidak utuh jika kita tidak memperhatikan maknanya sebagai pemberian perhatian kepada siapa saja yang berhak. Keadilan dalam arti pemberian hak kepada yang berhak menyangkut dua hal: (1) Masalah hak dan pemilikan. Ini tidak saja mencakup hak dan kepemilikan seseorang sesuai dengan usaha dan hasil usahanya, tetapi juga mencakup hak dan kepemilikan alami. (2) Kekhususan hakiki manusia, yaitu kualitas manusiawi tertentu harus dipenuhi oleh dirinya dan diakui oleh orang lain untuk dapat mencapai tujuan hidupnya yang lebih tinggi. Keempat, makna keadilan ialah Keadilan Tuhan, berupa kemurahan-Nya dalam melimpahkan rahmat kepada sesuatu atau setingkat dengan kesediaannya untuk menerima eksistensi dirinya sendiri dan pertumbuhannya ke arah kesempurnaan. Dari penjelasan empat arti keadilan, yang terkait dengan politik ialah arti yang kedua dan ketiga, yaitu persamaan dan pemberian hak kepada siapa saja yang berhak. Sebaliknya, kezaliman dalam kaitannya dengan pengertian ini ialah perampasan hak dari orang yang berhak, dan pelanggaran hak oleh yang tak berhak.
Sangat mungkin, maksud Nursi dengan “keadilan absolut” ialah sama dengan pengertian di atas. Ia (2003, hlm. 79-80) membagi keadilan dalam dua kategori, yaitu keadilan absolut dan keadilan relatif ketika menghadapi sebuah pertanyaan Perang Jamal yang terjadi antara Ali ra. dengan Aisyah ra. Untuk menjelaskan “keadilan absolut” ia mengutip ayat 32 Surat al-Maidah :
ô`tB…. @tFs% $G¡øÿtR ÎötóÎ/ C§øÿtR ÷rr& 7$|¡sù Îû ÇÚöF{$# $yJ¯Rr’x6sù @tFs% }¨$¨Z9$# …$YèÏJy_ ÇÌËÈ
Artinya : “barang siapa yang membunuh seseorang manusia bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya”.
Ayat di atas menyiratkan bahwa tak satupun manusia selama dia benar, memiliki hak hidup, dia tidak boleh dikorbankan demi masyarakat. Semua hak, baik utama atau kecil, adalah hak di dalam pandangan Allah, jadi tidak boleh dilenyapkan demi yang lain yang dianggap lebih besar atau lebih fundamental. Hak individu tidak boleh dikorbankan demi komunitas tanpa persetujuan individu tersebut. Kalau dia rela terhadap haknya, itu masalah lain.
Terkait dengan keadilan absolut Nursi sering mengutip ayat 164 dari Surat al-An’am yang berbunyi:
4… wur âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3…t÷zé& ÇÊÏÍÈ
Artinya: Seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.
Nursi (2003b, hlm. 357) menafsirkan ayat di atas bahwa “memelihara kebencian dan permusuhan terhadap orang yang beriman adalah seperti mencela semua sifat-sifat baik yang ada padanya karena hanya satu sifat jelek dan memusuhi semua sanak keluarga orang beriman yang kau musuhi karena satu sifat jeleknya saja merupakan kezaliman yang besar”
Untuk “keadilan relatif”, itu bermakna sebaliknya, yaitu bagian dapat dikorbankan demi keseluruhan. Keadilan ini tidak mempertimbangkan hak individu yang mana diperkirakan merugikan kebaikan masyarakat, dan berpendapat bahwa mengurangi kejahatan adalah lebih baik untuk menghindari kejahatan yang lebih besar. Namun Nursi menekankan bahwa menerapkan “keadilan relatif” itu salah dan merupakan sebuah kezaliman di saat “keadilan absolut” masih memungkinkan.
Pulungan (2004, hlm. 337) berkomentar terhadap keadilan absolut yang diungkapkan oleh Nursi bahwa setiap individu mempunyai hak untuk mencari haknya sesuai dengan ajaran Islam dan hak tersebut tidak boleh diganggu oleh masyarakat.
Sementara Mursel (1975, hlm. 511-512) berpendapat di dalam alam semesta berlaku keadilan mutlak yang melingkupi seluruh makhluk, hal ini terlihat dalam ungkapan Nursi “keadilan dan hikmah yang memenuhi kebutuhan kecil dari makhluk yang paling kecil”. Oleh karena itu, bagi Nursi perlu memperhatikan hak semua makhluk. Dalam pandangan Mursel, keadilan absolut harus menjadi dasar dalam kehidupan sosial. Sedangkan keadilan relatif berlaku dalam keadaan darurat.
Ketika dibandingkan konsep keadilan al-Mutahhari dan Nursi dapat terlihat persamaan. Keadilan absolut yang diungkapkan oleh Said Nursi sama secara substansi dengan kategorisasi al-Mutahhari yang ketiga, yaitu pemberian perhatian kepada siapa saja berhak. Karena kedua tokoh mengutamakan hak orang yang berhak. Selain itu, sebagaimana al-Mutahhari membahas keadilan Tuhan dalam alam semesta, begitu juga Nursi mengatakan ada keadilan mutlak dalam alam semesta.
Ada prinsip yang memonjol pada abad ini bahwa “individu dapat dikorbankan demi masyarakat, bangsa dan negara”. Prinsip ini bagus selama individu mengorbankan haknya dan tidak ada diskriminasi. Tetapi prinsip ini pula membuka peluang untuk menyelewengkan hak seseorang. Karena penerapannya sesuai dengan keinginan penguasa atau pihak tertentu, sehingga menagakibatkan terjadinya kasus-kasus kezaliman. Oleh karena itu prinsip kedilan absolut perlu diterapkan semampu mungkin.
Keadilan absolut yang diungkapkan oleh Nursi tidak mengizinkan diskriminasi terhadap hak individu demi umat manusia. Karena kedilan absolut memandang hak komunitas dan hak individu sama. Selama individu tidak mengorbankan haknya, hak individu tersebut tidak dapat dikorbankan demi masyarakat, negara, bahkan umat manusia.
Keadilan yang digambarkan oleh Nursi, memang indah dan sempurna. Tetapi memBarlakukan keadilan absolut dalam masyarakat modern yang serba kompleks ini sangat sulit. Karena, sebuah pemerintah mengambil satu kebijakan, pasti ada pihak yang dirugikan. Maka, sulit diterapkan keadilan absolut. Kalau tidak bisa, diterapkan keadilan relatif, tetapi pemerintah harus berusaha untuk meminimalisir dampak-dampak negatif dari penerapan keadilan relatif.
Pada era modern sekarang, sebuah pemerintah harus berlaku adil terhadap masyarakatnya dan memberikan hak kepada yang berhak melalui prinsip keadilan. Pemerintah juga harus memberikan pelayanan kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa membedakan agama, ras, etnis, status sosial dan lain-lain.
Persamaan (Equality)
Sebenarnya, prinsip keadilan mengandung prinsip persamaan dan ada hubungan erat di antara dua prinsip tersebut. Tetapi Nursi membahas dua prinsip itu masing-masing, maka perlu dibahas secara terpisah agar lebih jelas. Menurut al-Maududi (1993, hlm. 96) persamaan adalah salah satu prinsip dalam negara Islam. Ia mengemukakan bahwa: “Semua kaum muslimin memiliki persamaan dalam hak-hak dengan sempurna, tanpa memandang warna, suku, bahasa atau tanah air”. Namun, konsep ini terbatas pada kaum muslimin saja.
Dalam pandangan Saefuddin persamaan itu ada di depan hukum dan ia mengatakan:
Persamaan di depan hukum merupakan salah satu manifestasi prinsip persamaan yang dituntut oleh keadilan yang dicanangkan oleh Islam, hukum yang dilaksanakan atas semua orang tanpa mengistimewakan dan tanpa membedakan seorang individu atas lainnya, karena sebab jenis kelamin, warna kulit, kedudukan, kekayaan, kemiskinan, kekerabatan, atau persahabatan, bahkan aqidah atau yang lainnya yang kontroversial (Saefuddin 1996, hlm. 8).
Senada dengan ungkapan Saefuddin di atas, Nursi juga menerima persamaan di depan hukum. Hal ini bisa dilihat dalam pernyataannya sebagai berikut:
Ya, segi keturunan dan dari segi penghidupan aku tergolong masyarakat bawah atau termasuk orang yang mengharapkan adanya persamaan di depan hukum baik secara pemikiran maupun perilaku. Selain itu, dari dulu aku termasuk orang yang menolak dominasi kalangan tertentu yang disebut kaum Borjuis. Semua itu muncul karena sifat kasih sayang dan keadilan yang bersumber dari Islam. Karenanya, dengan segala kekuatan yang kumiliki aku mendukung adanya rasa keadilan dan menentang segala bentuk kezaliman, kontrol, dominasi, dan tirani (Nursi 2003a, hlm. 322).
Dalam hal ini, Nursi menunjukkan zaman kebahagiaan yaitu masa Rasulullah yang orang yang paling miskin disamakan dengan orang yang paling kaya di depan hukum. Maksud dari persamaan mutlak yang disebut di atas adalah seperti diungkapkan oleh Madjid (1995, hlm. 515) Barlakukan yang mutlak sama antara setiap orang tanpa memperhatikan adanya perbedaan kemampuan, tugas dan fungsi antara seseorang dengan orang lain, sehingga, misalnya, seorang manajer diBarlakukan persis sama dengan seorang pesuruh, maka yang terwujud ketidakadilan dan ketidakpersamaan. Hal inilah tidak disetujui oleh Nursi dan sekaligus Islam juga. Dalam hal ini, Nursi ungkapkan bahwa:
Siapa yang bergerak dalam kehidupan sosial tidak akan berhasil dalam hal kebaikan dan kemajuan jika gerakan tersebut bertentangan dengan kaidah fitriah yang ada di alam semesta. Bahkan semua amal usahannya itu berada di jalan pengrusakan dan keburukan. Karena adanya kesusiaan denagn kaidah fitriah merupakan keharusan, penerapan konsep persamaan mutlak hanya bisa dilakukan dengan mengubah fitrah manusia dan mencampakkan hikmah utama penciptannya (Nursi 2003a, hlm. 322).
Sejalan dengan pendapat Nursi, Rais juga mengakui persamaan di depan hukum dan ia menguraikan sebagai berikut:
Persamaan harus menjadi prinsip konstitusional yang diutamakan. Manusia harus berdiri sama di depan hukum, tanpa diskriminasi berdasarkan ras, asal-usul, bahasa, keyakinan, pangkat, atau latar-belakang sosial-ekonomi. Namun perlu diingat bahwa persamaan di sini adalah dalam arti legal, bukan faktual. Mengapa? Karena persamaan faktual akan meniadakan sama sekali perbedaan-perbedaan yang wajar dalam masyarakat, dan dapat menjurus pada kredo komunis, yaitu “dari masing-masing orang diminta sesuai dengan kemampuannya, kepada masing-masing diberikan sesuai kebutuhannya (Rais 1991, hlm. 56).
Dari ungkapan Nursi di atas, Pulungan (2004, hlm. 337) berkomentar bahwa keadilan dapat diperoleh melalui persamaan mutlak di depan hukum dan persamaan mutlak bisa diterapkan dengan perubahan fitrah manusia dan pelepasan dari hikmah dasar dalam ciptaan manusia. Nursi merupakan seorang dari masyarakat awam dan orang yang menerima persamaan hak secara intelektual dan watak. Karena, kasih sayang dan keadilan yang bersumber dari Islam. Maka, Nursi beroposisi terhadap despotisme dan tekanan dari kelas elit yang disebut Borjuis.
Mursel (1989, hlm. 133-136) menginterpretasikan ungkapan Nursi di atas bahwa persamaan merupakan salah satu prinsip yang menyeimbangkan kehidupan sosial secara materi dan maknawi. Tidak ada satu kekuasaan baik materi maupun spiritual yang menyebabkan tirani dan ia memperjuangkan persamaan hak di depan hukum. Keadilan bisa tercapai dengan adanya persamaan hak di depan hukum. Nursi memandang tirani kaum borjuis yang artinya kelas sosial tinggi menzalimi kelas sosial rendah bertentangan dengan persamaan hak dan hal ini merupakan watak yang perlu ditentang.
Terkait dengan prinsip persamaan perlu juga disampaikan pandangan Nursi tentang kelompok minoritas (non-muslim) dalam sebuah negara yang mayoritas muslim. Pada periode Turki Usmani, hak-hak kelompok minoritas dikedepankan dan diberikan beberapa hak kepada mereka oleh pemerintah melalui pembaharuan seperti Tanzimat. Nursi (1993b, hal.20) mengomentari hal tersebut ketika dia berdialog dengan masyarakat di Turki Timur dan mengatakan pemerintah harus menjawab hak dan keamanan kelompok minoritas asalkan mereka tunduk kepada hukum. Kerena minoritas non-muslim diterima sebagai zimmi dalam hukum Islam.
Ketika sebagian orang mengkritik pemberian hak dan pembebasan terhadap minoritas, dan mereka mengatakan hal tersebut merugikan umat Islam. Nursi menjawab bahwa seandainya kebebasan minoritas ada dampak negatif terhadap kalian. Tetapi umat Islam tidak rugi, karena penduduk kelompok minoritas tidak sampai 10 juta pada Turki Usmani. Padahal, sebagian besar umat Islam berada di bawah tekanan dan penjajahan negara-negara Barat. Maka, kebebasan kelompok minoritas pada Turki Usmani merupakan ‘sokongan’ untuk pembebasan umat Islam secara keseluruhan dan kunci untuk melepaskan dari tekanan orang Barat.
Selanjutnya, dia ditanya bagaimana mungkin persamaan antara umat Islam dan minoritas non-muslim? Nursi merespon pertanyaan tersebut sebagai berikut:
Persamaan, bukan dalam hal fadhilah dan kemuliaan, tetapi di depan hukum. Status penguasa dan pengemis sama di depan hukum. Bagaikan sebuah Syariah yang menyuruh ‘jangan menginjak semut dengan sengaja’ dan mencegah manusia dari perbuatan zalim. Bagaimana mungkin ia mengabaikan hak anak Adam? Naudzubillah! Ya, Imam-i Ali ra. diadili dengan seorang Yahudi, Salahuddin Ayyubi yang kita banggakan disidang dengan seorang Kristen yang miskin memperbaiki pandangan kita (Nursi 1993b, hlm. 25).
Dari uraian di atas, Mursel (1976, hlm. 508-509) menyimpulkan bahwa pemberian kebebasan non-muslim tidak menyebabkan kerugian bagi umat Islam. Kalau tidak diberikan kebebasan, hal ini memberikan kesempatan negara-negara Barat untuk menzalimi umat Islam di luar Turki Usmani. Maka, demi kebaikan umat Islam, perlu pemberian kebebasan terhadap kelompok minoritas. Dalam sejarah Islam, kelompok minoritas tidak terganggu, malah diBarlakukan secara egaliter. Misalnya, kasus Imam-i Ali dan Salahuddin Ayyubi diadili dengan non-muslim seperti diungkapkan oleh Nursi di atas.
Dari uraian di atas dapat dipahami beberapa hal yang penting dalam pandangan Nursi. Pertama, tidak ada persamaan mutlak. Karena kemampuan, potensi dan perasaan manusia tidak sama. Hal ini tidak berarti semua kesempatan diambil oleh orang-orang tertentu atau orang-orang yang memegang kekuasaan. Dengan prinsip persamaan orang mendapat penghargaan sesuai dengan kemampuan, latar belakang pendidikan dan etos kerjanya.
Kedua, persamaan di depan hukum berlaku untuk semua manusia tanpa memandang warna kulit, jenis kelamin, kedudukan, kekayaan dan agama. Sehingga seorang pengemis dan seorang presiden memiliki hak yang sama di depan hukum. Hal ini didukung oleh banyak kasus –beberapa contoh diberikan di atas- dalam sejarah Islam. Ketika dibandingkan pendapat Nursi tentang persamaan di depan hukum dengan pendapat al-Maududi, Amin Rais dan Saefuddin bahwa sebagaimana Nursi berpendapat ada persamaan di depan hukum, begitu juga tokoh-tokoh di atas setuju dengan persamaan hak di depan hukum. Bahkan mayoritas ulama menyetujui hal itu.
Ketiga, hak, keamanan dan harta kaum minoritas terjamin selama mereka mematuhi hukum yang ada. Mereka bebas melaksanakan aktivitasnya sesuai dengan hukum yang berlaku. Penerapan hukum terhadap kaum minoritas dalam sejarah Islam menunjukkan bahwa pada umumnya kaum minoritas diBarlakukan sama dengan kaum muslimin. Jadi Isalm memberikan hak kepada kaum minoritas untuk menuntut haknya di depan hukum, jika kaum minoritas ditindas.
Dalam konteks politik modern, persamaan di depan hukum antara muslim dan non-muslim sangat penting dalam kehidupan sosial khususnya masyarakat plural seperti di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah harus juga menjamin hak kelompok minoritas dalam hal beragama, bermuamalah dan lain-lain. Sehingga masyarakat muslim dan non-muslim hidup dalam keadaan nyaman dan harmonis.
Di samping itu, Islam tidak membedakan umat manusia atas jenis kelamin, etnis, warna kulit, keadaan ekonomi dan status sosial. Dengan prinsip persamaan ini, pemerintahan, khususnya Departemen Kehakiman bertindak secara adil dan menerima persamaan di depan hukum tanpa diskriminasi berdasarkan ras, etnis, keyakinan, pangkat dan sebagainya. Maka, dengan penerapan prinsip persamaan, masyarakat tenang dan tentram baik kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial.
Nasionalisme
Nasionalisme merupakan isu penting dalam peta pemikiran politik Islam modern. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997, hlm. 684) nasionalisme adalah kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai , mempertahankan dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa itu. Salah satu bagian dari pemikiran Nursi adalah nasionalisme Islam. Said Qadim menjelaskan pandangannya waktu ia menemani Sultan Muhammad Rasyed untuk mengunjungi Balkania sebagai berikut:
Kita masyarakat muslim, di sisi kita agama dan bangsa bersatu dengan zat. Kelihatan dan tampaknya ada perbedaan. Tetapi, agama merupakan kehidupan dan roh bangsa. Apabila dilihat keduanya secara terpisah, maka semangat agama itu meliputi orang awam dan elit. Semangat bangsa terbatas pada orang-orang bangsanya sendiri, maka semangat agama menjadi dasar pada hukum umum. Semangat bangsa menjadi pelayan, kekuatan dan benteng kepadanya. Khususnya kita orang Timur tidak seperti orang Barat, sesungguhnya yang mendominasi hati orang Timur adalah rasa agama. Kebanyakan nabi-nabi diutus di Timur mengisyaratkan hanya rasa agama yang membangkitkan Timur dan menyebabkan kemajuannya, masa Rasulullah dan Tabi’in sebagai bukti untuk hal tersebut. Semangat agama dan bangsa terpadu dan tak bisa dipisahkan bagi bangsa Turki dan Arab (Nursi 2000b, hlm. 95).
Ia menerima Islam sebagai komunitas yang mengikutinya miliaran muslim dan mereka menunjukkan pelayanaan dan hubungan terhadap Islam lima kali sehari. Dengan prinsip orang yang beriman adalah bersaudara, mereka membantu dan mendo’akan sesama muslim. Dan kita termasuk komunitas Islam itu.
Nasionalisme menurut Said Nursi terbagi menjadi dua macam; Pertama, adalah nasionalisme negatif, jahat, berbahaya yang dibesarkan dengan keharusan melenyapkan pihak lain dan dipelihara dengan permusuhan terhadap pihak lain. Nasionalisme semacam ini adalah penyebab timbulnya rasa saling membenci dan perselisihan, sehingga nasionalisme semacam ini dicela dan ditolak oleh al-Qur’an maupun Nabi, seperti yang dinyatakan dalam hadits, Islam melarang kesombongan kebangsaan (kesukuan) pada zaman jahiliyyah (Bukhari, Ahkam: 4).
Pendukung berbagai nasionalisme negatif telah menyebabkan banyak malapetaka sepanjang sejarah baik bagi prinsip persatuan Islam maupun bagi umat Islam. Sebagai misal, dalam pemerintahan Umayyah dapat kecenderungan terhadap nasionalisme Arab dan oleh karena itu, menyinggung perasaan umat Islam lainnya dan bani Umayyah sendiri menderita banyak malapetaka. Demikian juga dengan bangsa-bangsa Eropa, di abad ini mereka mempunyai perasaan nasionalisme yang sudah terlalu jauh sehingga mengakibatkan timbulnya permusuhan yang berkepanjangan antara bangsa Prancis dan Jerman dan pecahnya Perang Dunia pertama yang sangat mengerikan menunjukkan betapa bahayanya nasionalisme negatif bagi umat manusia.
Kedua adalah nasionalisme positif yang muncul dari syarat-syarat hakiki kehidupan sosial. Nasionalisme semacam ini menimbulkan sikap saling tolong menolong dan solidaritas, menghasilkan kekuatan yang menguntungkan dan membuat ukhuwwah Islamiyah tumbuh semakin kuat.
Semangat nasionalisme positif ini harus digunakan untuk mengabdi pada Islam dan digunakan untuk membangun benteng yang kokoh untuk melindungi Islam; nasionalisme positif seperti ini tidak boleh menggantikan Islam. Karena persaudaraan yang dikehendaki dan dibangun oleh Islam adalah bermacam-macam dan sangat berharga dalam kehidupan ini, Dunia Bardzah maupun di Dunia Abadi, maka betapapun kuatnya persaudaraan kaum nasionalis, itu hanyalah sekuat satu aspek ukhuwah Islamiyah saja (Nursi 2003b, hlm. 445-448).
Uraian di atas, tampaknya pemikiran Nursi senada dengan pemikiran Pan- Islamisme Jamaluddin al-Afghani. Pernyataan ini, diungkapkan oleh Nursi bahwa dia sepakat dengan pemikiran al-Afghani tentan pan-Islamisme.
Dari pendapat Nursi tentang nasionalisme, Mursel (1989, hlm. 201) berkesimpulan bahwa Nursi mendefinisikan nasionalisme sebagai sebuah konsep yang berdasarkan agama dan bangsa secara bersama, sedangkan nasionalisme negatif adalah berdasarkan pada ras dan jauh dari agama. Maka, nasionalisme positif merupakan sarana untuk tolong-menolong dan keharmonisan di dalam kehidupan sosial. Nursi tidak menolak nasionalisme secara keseluruhan, tetapi nasionalisme tidak bisa memisahkan dari agama dan tidak boleh lebih diutamakan daripada agama.
Nasionalisme negatif merupakan bahaya bagi kehidupan manusia. Dalam sejarah Islam, kasus nasionalisme Arab di Dinasti Umayyah menyinggung perasaan umat Islam dan mendapat penderitaan bagi Dinasti Umayyah sendiri sebagaiman diungkapkan oleh Nursi di atas. Sedangkan prinsip-prinsip agama Islam seperti tolong-menolong, persaudaraan, dan solidaritas memperlancar fungsi nasionalisme di dalam umat Islam.
Dalam pandangan Nursi Islam dan nasionalisme tidak bisa dipisahkan. Karena Islam memberikan semangat bagi umat Islam untuk mencaga persatuannya. Khususnya, bagi bangsa Turki agama dan nasionalisme tidak dapat dipisahkan, karena idenditas Turki telah melebur dalam idenditas Islam sejak berabad-abad.
Nursi melihat nasionalisme merupakan sebuah kenyataan pada abad ke-20, maka di berusaha menjelaskan nasionalisme dalam perspektif Islam. Nursi mengemukakan konsep nasionalisme positif yang merangkul semua umat Islam dan tidak bermusuhan dengan pihak lain. Nasionalisme positif tidak meningkari keberadaan bangsa lain. Bahkan ia mengakui semua umat Islam sebagai saudara tanpa melihat perbedaan ras. Penggunaan nasionalisme positif yang berdasarkan pada Islam tidak berarti menghancurkan atau melenyapkan agama lain.
Sedangkan nasionalisme negatif yang digambarkan oleh Nursi menyebabkan permusuhan dan perpecahan antara umat Islam. Karena nasionalisme negatif ingin melenyapkan bangsa lain dan menyebabkan permusuhan terhadap pihak lain. Nasionalisme negatif yang berdasarkan ras mengakibatkan terjadinya malapetaka bagi umat manusia seperti pecahnya Perang Dunia I. Selain itu dunia Barat menggunakan nasionalisme negatif ini sebagai alat untuk memecah-belah dan melenyapkan umat Islam. Oleh karena itu, wajar Nursi mencela nasionalisme negatif berdasarkan hadis yang berbunyi: Islam melarang Ashabiyyah (kesukuan) jahiliah.
Terkait dengan perkembangan modern, nasionalisme Islam atau nasionalisme positif amat penting bagi umat Islam pada masa modern sekarang. Walaupun tidak bisa mempersatukan umat Islam di bawah satu payung atau satu negara, namun organisasi-organisasi Islam secara internasional terutama Organisasi Konferensi Islam (OKI) menjadi media untuk solidaritas umat Islam. Hal ini dapat terlihat pada perkembangan OKI bahwa organisasi ini berperan dalam bidang budaya, ekonomi, sosial dan sebagainya agar memberikan solusi-solusi terhadap problematika-problematika umat Islam. Tampaknya usaha OKI belum maksimal sebagaimana yang diharapkan, tetapi paling tidak mendekati harapan-harapan bagi umat Islam.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa , dalam pemikiran politik Nursi tidak ada tujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam. Tetapi, ia menguraikan prinsip-prinsip dasar seperti musyawarah, keadilan agar pengelolaan pemerintahan sesuai dengan ajaran Islam. Memang, dalam Islam juga tidak ada nash yang memerintahkan untuk mendirikan sebuah negara Islam. Tetapi, ini tidak berarti Islam sama sekali tidak ada hubungannya dengan politik. Karena, ajaran Islam mempunyai seperangkat nilai dan prinsip untuk kehidupan sosial termasuk kehidupan bernegara dan politik.
Ketika Nursi mengutarakan prinsip-prinsip universal tentang politik, terjadi perubahan-perubahan besar dalam bidang ekonomi, teknologi, ilmu pengetahuan dan politik pada abad ke-20. Hal ini telah berpengaruh terhadap dunia pemikiran termasuk pemikran Said Nursi. Pada waktu itu prinsip-prinsip seperti kebebasan, keadilan dan musyawarah diungkapkan dengan gaya yang jauh dari makna sebenarnya. Nursi telah berusaha menafsirkan prinsip-prinsip di atas sesuai dengan keyakinan dan pepahaman masyarakat. Dalam penjelasanya ia menggunakan Islam sebagai referensi utama. Dalam perjuangan Nursi dapat terlihat bahwa ia berusaha membenahi individu dan masyarakat daripada perubahan struktural dalam politik.
Dari prinsip-prinsip politik yang diuraikan oleh Nursi dapat dipahami bahwa jika sebuah pemerintahan telah memenuhi syarat-syarat seperti:
- Pemerintah yang terpilih berdasarkan kebebasan kehendak masyarakat,
- Mekanisme pengambilan keputusan dengan musyawarah,
- Adanya supremasi hukum, sehingga penegak hukum tidak sewenag-wenag,
- Dalam penerapan hukum diutamakan keadilan,
maka dapat dikatakan sebuah pemerintahan Islami walaupun bentuk pemerintahan yang berbeda. Karena Nursi menganggap yang paling penting adlah penerapan prinsip-prinsip dalam pemerintahan. Setelah pendirian Republik Turki, Nursi mengkritik pemerintahan otoriter. Karena sistem pemerintahan republik, tetapi yang terjadi despotisme.
Bab 5
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, ada perubahan dari Said Qadim ke Said Jadid dalam kehidupan Nursi. Ketika Nursi menjadi Said Jadid, Nursi tetap setuju dengan prinsip-prinsip yang ia uraikan pada Said Qadim. Hanya saja sikap atau pendekatannya terhadap politik berbeda pada kedua periode tersebut. Pada periode Said Qadim, ia aktif di dunia politik dan menyuarakan prinsip prinsip Islam dalam politik melalui pidato, tulisan-tulisan di surat kabar atau majalah. Pada periode Said Jadid, ia mengutamakan memperkokoh iman yang merupakan kelemahan umat Islam pada abad 20. Dengan menguatkan iman individu akan terbentuk masyarakat religius. Tujuan Nursi adalah menyampaikan pesannya kepada seluruh lapisan masyarakat melalui semboyan “penyelamatan Iman” daripada membatasi dirinya dengan melibatkan dirinya dalam dunia politik. Sehinga, pengunduran Nursi dari panggung politik, tidak berarti ia benci dengan politik, melainkan merupakan sebuah strategi yang mengutamakan masalah yang paling penting, yaitu iman daripada perubahan struktural dalam politik.
Kedua, Nursi mempunyai beberapa prinsip mendasar dalam kehidupan politik. Prinsip-prinsip tersebut adalah tauhid, musyawarah, kebebasan, persamaan, keadilan dan nasionalisme. Prinsip-prinsip ini merupakan seperangkat nilai untuk menjalankan roda pemerintahan. Ia lebih cenderung kepada sistem republik atau republik religius yang berdasarkan pada prinsip musyawarah. Karena, dalam sistem republik prinsip-prinsip di atas dapat terlaksana.
Ketiga, Nursi lebih mengutamakan prinsip-prinsip Islam seperti tauhid, musyawarah, kebebasan, keadilan dalam kehidupan politik daripada mendirikan sebuah negera Islam. Karena, dengan prinsip-prinsip tersebutlah dapat diwujudkan sistem politik yang sesuai dengan ajaran Islam. Prinsip tauhid memberikan kesadaran kepada para pejabat atau pemimpin bahwa semua kebijakan yang mereka jalankan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Dengan adanya prinsip musyawarah, kebijakan-kebijakan pemerintah diputuskan dengan musyawarah dan keputusan tidak dimonopoli oleh seorang penguasa. Kebebasan memberikan peluang kepada masyarakat untuk menyuarakan pendapatnya mengenai masalah-masalah politik. Jadi, prinsip-prinsip yang diuraiakan oleh Nursi perlu diterapkan pada kehidupan politik modern agar mencapai tatanan sosial yang lebih adil, teratur dan damai.
Saran-Saran
Nama Said Nursi sudah mulai populer di Indonesia melalui berbagai kegiatan seperti simposium internasional, bedah buku, penulisan tesis dan skripsi, penerjemahan karya-karyanya. Tentu saja hal ini menunjukkan Said Nursi dan karya-karyanya merupakan sebuah khazanah keislaman yang penting bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi kalangan akademis.
Maka, civitas akademis perlu mengkaji karya-karya Nursi lebih dalam tidak hanya sudut pandang bidang politik dan pendidikan tetapi juga bidang tafsir, kalam, hadis dan lain-lain. Sebagai lanjutan dari kajian akademis, perlu adanya penelitian-penelitian terhadap pemikiran politik Said Nursi. Karena, Nursi menyampaikan pemikiran politiknya dalam berbagai karyanya dengan tidak sistematis. Dengan adanya penelitian-penelitian, pemikiran politiknya bisa disusun secara sistematis.
Para partai politik, khususnya partai politik Islam dan para praktisi politik diharapkan mengkaji pemikiran politik Said Nursi agar mereka memahami pandangan seorang tokoh Islam bahwa yang penting adalah menerapkan nilai-nilai Islam dalam dunia politik. Dengan paradigma seperti ini, Islam dipandang secara substansial dan tidak terjebak di dalam formalitas dan label agama belaka yang sering terjadi di dunia Islam.
*Konstitusu yang mengundangkan UUD dan pemilihan anggota parlemen yang mengukuhkan bahwa sultan dan kementerian bertanggungjawab kepada parlemen.
* Dijelaskan dalam Urkhan Muhammad Ali (1995, hal. 8), bahwa Mirza adalah keturunan Hasan bin Ali dan Nuriyyah keturunan dari Husain bin Ali, lihat dalam Zaidin, Bediuzzaman Said Nursi: Sejarah Perjuangan dan Pemikiran, Selangor Darul Ehsan Malaysia: Malita Jaya, 2001, hal. 119.
* Konstitusu yang mengundangkan UUD dan pemilihan anggota parlemen yang mengukuhkan bahwa sultan dan kementerian bertanggungjawab kepada parlemen.
** Mevlid adalah sebuah syair yang dilagukan untuk kelahiran Nabi Muhammad SAW oleh Sulaiman Celebi yang meninggal di Bursa pada tahun 780 H/ 1378M.
* Maksud dari fundamental laws adalah beberapa prinsip, seperti pertama Surat al-An’am ayat 164 yang berbunyi “Seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”. Yakni seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas kesalahan orang lain. Kedua, sesungguhnya orang-orang mukmin adalah saudara (QS.49:10).