Mendekatkan Said Nursi kepada Umat Islam Indonesia

Oleh: Parid Ridwanuddin

 Sudah menjadi tradisi tahunan, The Istanbul Foundation for Science and Culture menggelar acara International Graduate Conference on Nursi Studies di kota Istanbul, Turki. Tujuan diselenggarakannya acara ini adalah untuk mempertemukan sekelompok peneliti muda dari berbagai penjuru dunia dalam rangka bertukar pikiran sekaligus mengkontekstualisasikan gagasan-gagasan Badiu’zzaman Said Nursi (1877-1960), ulama fenomenal Turki kontemporer. Sebagai salah satu peserta, saya merasa bangga dapat menjadi salah satu bagian dalam perhelatan akbar ini. Maklum, tahun ini hanya saya yang berasal dari Indonesia.

Bagi masyarakat akademis di Indonesia, sosok Said Nursi belum terlalu populer seperti Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, dan sejumah pemikir lainnya. Hal ini, sebagaimana dinyatakan oleh Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, bisa jadi disebabkan oleh beberapa hal berikut: pertama, buku dan karya Nursi hanya dibaca di kalangan terbatas tertentu oleh mahasiswa dan masyarakat muslim sekitar Turki; kedua, para pelajar atau mahasiswa di Indonesia lebih terobsesi dengan karya-karya Jamauddin Al Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, yang juga merupakan aktivis pergerakan politik. Sementara itu, pada diri Nursi lebih menonjol sisi keulamaannya; ketiga, tulisan dan karya Nursi belum banyak diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia karena memang sepanjang hidupnya lebih banyak berada dalam penjara, paling tidak pada paruh pertama abad ke-20. Dengan demikian, pemikirannya hanya dibaca di kalangan murid dekatnya saja. Pada periode ini karyanya masih menjadi bacaan domestik. Itu pun di kalangan pecinta bacaan keagamaan, karena Turki di bawah kekuasaan Mustafa Kemal Attaturk sudah sangat menjadi sekuler, sehingga buku-buku agama hanya berputar di lingkaran tertentu saja. Menyebarkannya kepada dunia luar masih merupakan upaya sekunder. Upaya seperti ini dianggap berbahaya bagi keselamatan jiwa Nursi yang masih berada di dalam tahanan.

Namun, perkembangan terkini menunjukkan bahwa masyarakat akademis di Indonesia secara gradual mulai mengenal sosok Nursi dengan diterbitkannya berbagai buku terjemahan Risalah an-Nur. Setidaknya, bagian-bagian utama dari Risalah an-Nur seperti al-Kalimât, al-Lama’ât, al-Syu’ât, al-Maktûbât, dan al-Matsnâwî al-‘Arabi al-Nûrî dapat kita baca dalam edisi bahasa Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari upaya serius dan berkelanjutan Yayasan Nur Semesta di Ciputat, Tangerang Selatan, yang digawangi oleh Ustad Hasbi Sen. Semoga upaya menerjemahkan dan menerbitkan Risalah an-Nur dapat terus berjalan sehingga karya ini dapat dinikmati oleh pembaca di Indonesia.

Selain itu, dengan diterbitkannya novel Api Tauhid pada tahun 2014 oleh Penerbit Republika yang merupakan karya brilian Habiburrahman El Shirazy, semakin memperkuat sosok Nursi dalam benak masyarakat Indonesia. Sebagaimana diketahui, kepiawaian Kang  Abik –sapaan akrab Habiburrahman El Shirazy- dalam mengemas kisah dalam novel ini, menjadikan figur Nursi hidup dalam pikiran dan hati pembaca. Hal itulah yang saya rasakan sampai saat ini.

Jika membaca gagasan-gagasan Nursi sebagaimana tertuang dalam Risalah An-Nur, kita akan menemukan banyak isu yang relevan dengan kehidupan manusia modern saat ini. Tak sedikit para ahli terkemuka dari berbagai universitas di dunia membedah pemikiran Said Nursi berdasarkan latar belakang dan disiplin keilmuan mereka, diantaranya yaitu: Prof. Dr. Said Ramadhan al-Buthi, ulama terkemuka dari Syiria yang wafat beberapa tahun lalu; Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, pakar ilmu Fiqh dan ushul Fiqh dari Universitas Damaskus; Prof. Dr. Ibrahim Ozdemir, pakar filsafat sekaligus ekolog kelas dunia dari Universitas Ankara; Prof. Dr. Amer al-Roubaie, pakar ekonomi dari Universitas Internasional Malaysia; Prof. Dr. Seyyid Vali Reza Nasr, pakar ilmu politik dari Universitas San Diego AS yang merupakan putra Seyyed Hossein Nasr; Prof. Dr. Syed Farid Alatas, pakar ilmu sosial dari Universitas Nasional Singapura; dan juga Prof, Dr. Andi Faisal Bakti, guru besar ilmu komunikasi dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Selain pakar-pakar yang berasal dari tradisi Islam, sebagaimana yang disebutkan di atas, gagasan-gagasan Nursi juga dikaji oleh sejumlah pakar yang berlatar belakang tradisi selain Islam. Diantara ahli yang dapat disebutkan disini, yaitu: Syukran Wahidah, akademisi dari Universitas Manchester Inggris; Prof. Dr. John Obert Voll, pakar sejarah Islam di Centre for Muslim-Christian Understanding Georgetown University, AS; Prof. Dr. Thomas Michel S.J, tokoh Katolik dari AS; Prof. Dr. Oliver Leaman, pakar Filsafat dari John Moores University, Liverpool, Inggris; Prof. Dr, Dale F. Eickelman, pakar antropologi dari Dartmouth College, New Hampshire, AS; serta Prof. Dr. Ian Markham, pakar filsafat dan teologi dari Virginia Theological Seminary, Inggris.

Deretan nama-nama besar di atas menunjukkan bahwa topik yang dibahas Nursi dalam Risalah an-Nur sangat luas. Keluasan iniah yang berhasil mempertemukan berbagai pakar dari beragam tradisi keilmuan. Selain keluasan topik, kedalaman pembahasan Risalah an-Nur terkait prinsip-prinsip Islam menarik pengkaji non-muslim. Bahkan, Syukran Wahidah yang sebelumnya seorang Kristen memutuskan diri untuk menjadi Muslimah pada tahun 1981 setelah membaca Risalah an-Nur. Setelah itu, Ia menerjemahkan Risalah an-Nur ke dalam Bahasa Inggris dan sampai saat ini terus menulis serta melakukan penelitian terkait Nursi dan Risalah an-Nur.

 Nursi adalah sosok yang berhasil menampilkan ajaran Islam secara damai. Di tengah kondisi dunia Islam yang tengah dilanda krisis seperti dekadensi moral serta peperangan antar saudara di sejumlah negara Arab, ditambah dengan menguatnya gerakan Islamophobia dari masyarakat Barat, gagasan-gagasan Nursi semakin menemukan relevansinya. Dalam banyak kesempatan Nursi mengajak kita untuk menguatkan kembali hubungan dengan saudara sesama muslim. Pada saat yang sama, ia juga mengajak kita untuk menguatkan hubungan dengan saudara-saudara non-muslim.

Bagi Nursi, peperangan yang terjadi di dunia Islam dimana seorang muslim membunuh muslim lainnya, ibarat Hasan membunuh Husain atau Ahmad membunuh Muhammad. Oleh sebab itu, ia selalu menolak mengangkat senjata jika yang dihadapinya adalah sesama muslim. Namun, jika menyangkut kehormatan agama dan kedaulatan negara, Nursi tak segan-segan untuk mengangkat senjata dan berada di barisan paling depan. Hal ini pernah ia buktikan pada peristiwa Perang Dunia I saat bertempur melawan pasukan Rusia pada November 1914 dibawah suhu minus 30 derajat celcius.

Dalam konteks dialog antar agama, Nursi mengajak umat Islam dan umat Kristen untuk mengenal musuh bersama yaitu ketidakpedulian, kemiskinan, dan konflik antar sesama. Selain itu, Nursi juga menyerukan ajakan untuk melawan paham materialisme, individualisme, hedonisme, dan ateisme yang menolak nilai-nilai spiritual atau transendental. Paham-paham tersebut merupakan buah dari modernitas Barat yang dalam banyak hal mengakibatkan krisis kemanusiaan kontemporer seperti dekadensi moral dan krisis ekologi. Menurut Nursi, Barat pada mulanya berdiri di atas fondasi nilai-nilai spiritual wahyu agama Kristen. Namun pada perkembangannya, Barat meninggalkan ajaran tersebut dan membangun fondasi sendiri yang sangat rapuh karena kosong dari dimensi spiritual.

Lebih jauh, Nursi mengatakan bahwa Barat itu ada dua macam: pertama, Barat yang religius, rajin, tekun, kreatif, inovatif, dan bekerja keras; serta kedua, Barat yang acuh tak acuh, lalai, tidak peduli, dan menolak nilai-nilai ketuhanan. Dalam banyak kesempatan, Nursi memberikan apresiasi yang sangat tinggi untuk Barat jenis pertama tetapi pada saat yang sama memberikan kritik yang sangat tajam untuk Barat jenis kedua.

Untuk umat Islam di Indonesia, gagasan Nursi terkait dialog antar agama bisa diinterpretasikan lebih luas. Umat Islam di Indonesia dituntut untuk terus membangun kerjasama dengan umat Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, dan berbagai kepercayaan lainnya guna menyelesaikan berbagai permasalahan bersama yang terdapat di masyarakat. Diantara permasalahan yang harus menjadi perhatian adalah: praktik korupsi, kolusi dan nepotisme di birokrasi negara; krisis lingkungan yang semakin hari semakin mengkhawatirkan; jurang kemiskinan yang semakin lebar; konflik horizontal baik antar etnis maupun antar pemeluk agama; serta menegakkan praktik demokrasi yang bersih dan berkualitas.

Tak ketinggalan, jika memperhatikan gagasan Nursi secara seksama mengenai hubungan intra umat Islam, maka persoalan konflik Sunni-Syiah yang telah menelan banyak korban serta menyita banyak energi harus segera diakhiri. Konflik ini tidak memberikan keuntungan apapun untuk umat Islam di Indonesia. Bahkan secara global memposisikan umat Islam pada posisi yang sangat rendah. Dalam bahasa lain, konflik Sunni-Syiah hanya akan menempatkan umat Islam pada got (sampah) peradaban.

Sisi lain yang menarik dielaborasi dari gagasan Nursi adalah integrasi pendidikan. Saat Nursi hidup, ia menyaksikan dengan mata telanjang dikhotomi pendidikan di Turki. Pendidikan agama dan pendidikan modern dipisahkan. Pemisahan pendidikan ini tentu akan membawa dampak jangka panjang bagi masyarakat Turki.

Dengan penuh keberanian, pada tahun 1907 M Nursi mengunjungi ibu kota Istanbul untuk menyampaikan usulan kepada Sultan Abdul Hamid agar di timur Anatolia didirikan sekolah-sekolah yang mempelajari matematika, fisika, kimia, dan sebagainya, di samping sekolah-sekolah agama. Nursi mengusulkan penggabungan studi ilmu agama dan ilmu pengetahuan modern agar terjadi keselarasan wawasan. Inti dari gagasan Nursi adalah penyatuan “tiga cabang utama” sistem pendidikan, yaitu madrasah atau sekolah agama tradisional; mekteb atau sekolah sekuler baru; dan tekke atau lembaga-lembaga sufi.

Gagasan ini tentu relevan juga dengan kondisi masyarakat Indonesia yang pernah dijajah oleh Belanda. Integrasi pendidikan pernah menjadi wacana yang ramai diperbincangkan pada tahun 1947 di Indonesia. Kesadaran mengenai hal ini mendorong lahirnya sejumlah gerakan pelajar dan mahasiswa Islam yang direpresentasikan oleh Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Secara singkat tujuan dari dua gerakan ini adalah untuk melakukan Islamisasi modernitas dan modernisasi (pemahaman) Islam di Indonesia yang saat itu terbelah diantara kubu pesantren dan sekolah umum.

Sampai hari ini, persoalan integrasi pendidikan tampaknya tidak terlalu ramai dibicarakan mengingat telah banyak lembaga pendidikan yang berhasil memadukan ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum. Bahkan di sebagian pesantren telah banyak dibuka jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), disamping jurusan Ilmu Agama Islam (IAI).  Namun persoalan serius yang dihadapi oleh dunia pendidikan saat ini adalah derasnya arus informasi yang dapat mengikis nilai-nilai luhur.

Gelombang informasi yang semakin massif setiap detiknya telah berhasil membentuk karakter sendiri dalam waktu yang sangat cepat. Jika dahulu media adalah cerminan dari masyarakat, maka saat ini masyarakat adalah cerminan dari media. Berdasarkan hal tersebut, kita bisa menemukan paradoks di masyarakat dalam bentuk, salah satunya, pelanggaran asusila yang dilakukan oleh guru kepada murid atau dilakukan oleh murid terhadap teman maupun adik kelasnya. Darimanakah pelaku belajar hal-hal seperti ini? Jawaban yang paling mendekati adalah mereka belajar dari media.

Integrasi pendidikan yang sebenarnya tidak hanya terletak pada penggabungan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu modern, tetapi lebih jauh adalah integrasi antara ilmu-ilmu teoritis yang bersifat kognitif, ilmu-ilmu penghayatan yang bersifat afektif, sekaligus ilmu-ilmu pengamalan yang bersifat psikomotorik. Integrasi inilah yang nantinya akan membentuk karakter masyarakat sehingga memiliki akhlak serta perilaku yang terpuji. Dan inilah saya kira yang dimaksudkan oleh Said Nursi. Dalam bahasa yang indah, Nursi menulis:

“Ilmu-ilmu keagamaan adalah cahaya nurani, sedangkan ilmu pengetahuan modern adalah cahaya akal-budi; kebenaran akan termanifestasi dengan menggabungkan keduanya. Ketekunan para pelajar akan membuat kedua sayap ini terbang tinggi.”

Hal terakhir yang menarik dikaji dari gagasan Nursi adalah pendekatannya terhadap alam atau lingkungan. Gagasan ini merupakan topik yang saya angkat menjadi judul tesis saya, “Eko-Teologi dalam Pandangan Badi’uzzaman Said Nursi”. Latar belakang penulisan ini diilhami oleh sejumlah tulisan para pemikir yang banyak mengulas persoalan krisis lingkungan, salah satunya adalah Prof. Dr. Seyyed Hossein Nasr, salah seorang penulis tasawuf dan filsafat Islam yang paling prolifik abad ini.

Menurut Nasr, dalam menghadapi krisis ekologi atau lingkungan, umat Islam ibarat orang yang berjalan sambil tertidur. Maksudnya adalah umat Islam belum menyadari sepenuhnya krisis yang mengkhawatirkan ini. Padahal, berbagai kerusakan telah nampak di hadapan kita. Beberapa contoh dapat disebutkan disini: pertama, saat ini kita dihadapkan pada persoalan deforestasi dimana lebih dari 7 juta hektar per tahun; kedua, setiap tahunnya kita kehilangan tanah subur sebanyak 22.7-25.4 milyar ton; serta ketiga, pada tahun 2025 nanti sepertiga dari penduduk bumi akan mengalami kesulitan mengakses air bersih dan air minum.

Berbagai kerusakan lingkungan yang terjadi, dalam pandangan Nasr, merupakan refleksi dari krisis spiritual dan krisis paradigma yang dianut oleh manusia modern. Manusia modern adalah manusia yang menafikan kesadaran spiritual. Dengan berbagai perangkat teknologi yang ada, manusia modern memperlakukan alam secara teknokratis dimana alam hanya diperlakukan sebagai komoditas ekonomi semata. Dengan demikian, alam dipandang sebagai benda mati yang tak memiliki dimensi spiritual. Alam hanya dipahami dengan kacamata instumental serta dikelola dengan kalkulasi untung dan rugi.

Pada titik inilah pandangan Nursi mengenai alam dan lingkngan menemukan konteksnya.  Nursi mengatakan bahwa pada setiap ciptaan terdapat tanda yang secara khusus menunjuk kepada Zat Pencipta segala sesuatu. Pada setiap makhluk terdapat stempel yang secara khusus menunjuk kepada Zat Pembuat segala sesuatu. Pada setiap lembar tulisan kekuasan-Nya terdapat petunjuk menakjubkan yang tidak bisa ditiru yang secara khusus menunjuk kepada Sang Penguasa Azali dan Abadi.

Bagi Nursi, alam adalah sebuah buku yang disusun oleh Allah swt yang penuh dengan keindahan. Selain sebagai sebuah buku, alam juga dapat dipahami sebagai sebuah cermin yang merefleksikan keagungan dan keindahan nama-nama Allah swt. Karena alam mereflaksikan keagungan sekaligus keindahan nama-nama Allah, pada dasarnya alam memiliki makna dan nilai sakral pada dirinya.

Terkait dengan manusia, Nursi menyatakan bahwa manusia merupakan buah dari alam semesta. Berdasarkan hal itu, manusia adalah pusat alam semesta. Pada saat yang sama, manusia juga merupaka cermin yang merefleksikan pengetahuan dan kekuasaan Allah swt. Dengan demikian, manusia dan alam sama-sama memiliki dimensi sakral karena merupakan cermin yang merefleksikan keberadaan Allah swt. Oleh sebab itu, pengrusakan alam yang dilakukan oleh manusia pada hakikatnya menurunkan derajat kemanusiaan itu sendiri.

Cara pandang Nursi terhadap alam ini menarik untuk dielaborasi lebih lanjut dalam forum-forum keagamaan seperti Khutbah Jum’at maupun berbagai forum pengajian lainnya di Indonesia. Pembahasan mengenai hubungan agama dan lingkungan belum mendapatkan porsi yang memadai dalam wacana keberagamaan di Indonesia.

Tulisan ini merupakan refleksi singkat saya terhadap beberapa gagasan Said Nursi yang dapat dicarikan konteks serta relevansinya bagi masyarakat Muslim di Indonesia. Tujuannya adalah untuk mendekatkan sosok Badi’uzzaman kepada masyarakat Muslim di Indonesia. Sebetulnya masih banyak topik-topik lainnya yang dapat diangkat dari karya Nursi. Namun tulisan ini bukan tempat yang memadai.

Saya berdoa kepada Allah swt, semoga suatu saat dapat menulis sebuah buku pengantar dalam bahasa Indonesia mengenai pemikiran Said Nursi. Tujuannya adalah ingin ikut memperkaya khazanah pengetahuan Islam di Indonesia. Semoga keinginan ini dapat terwujud dengan perkenan Allah swt. Aamiin ya Rabbal Alamin.

Kayseri, 21 Juni 2015

*Penulis adalah Mahasiswa pada program Pasca Sarjana Magister Ilmu Agama Islam Universitas Paramadina.

*Catatan ini merupakan refleksi pribadi setelah mengikuti acara International Graduate Conference on Nursi Studies di kota Istanbul pada 15-16 Juni 2015

 

Leave a Reply